Rilpolitik.com, Jakarta – Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan mengaku kini sudah dapat bernafas lega setelah berbulan-bulan menghadapi banyak gugatan dari kubu Moeldoko yang hendak mengambil alih Partai Demokrat.
Pernyataan itu Hinca sampaikan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) kubu Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat.
“Perkara ini telah diputus, Majelis Hakim Agung TOLAK Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Moeldoko,” kata Hinca melalui akun Twitter resminya, @hincapandjaitan pada Kamis (10/8/2023).
Menurut Hinca, putusan MA ini merupakan bentuk kemenangan keadilan dan penyelamatan terhadap demokrasi.
“Keadilan dimenangkan dan demokrasi terselamatkan,” ujarnya.
Ia mengatakan, putusan MA ini menandakan bahwa gugatan demi gugatan terhadap Partai Demokrat sudah berakhir. Tak ada langkah hukum lain yang bisa dilakukan oleh Moeldoko cs. Sebab itu, ia mengaku kini sudah bisa bernafas lega.
“Tuntas sudah semuanya. Saya yang sedari awal turut aktif membentengi Partai dari gugatan demi gugatan oleh para pembegal, akhirnya kini sudah dapat bernafas lega,” katanya.
Diketahui, Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat. Alasannya, novum yang diajukan pihak Moeldoko tidak cukup untuk dijadikan alasan menerima PK-nya.
“Novum yang diajukan pemohon PK tidak bersifat menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan kasasi,” ujar hakim agung sekaligus jubir MA, Suharto, dalam jumpa pers di MA pada Kamis (10/8/2023).
Majelis hakim PK juga menilai masalah kepengurusan partai sebaiknya diselesaikan di kalangan internal partai. Namun, hingga PK didaftarkan, kata Suharto, tidak ada upaya dari pihak Moeldoko untuk menyelesaikan masalah ini di Mahkamah Partai Demokrat.
“Bahwa walaupun objek sengketa merupakan keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 dan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Pasal 87 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, akan tetapi pada hakikatnya sengketa a quo merupakan masalah penilaian keabsahan kepengurusan Partai Demokrat, antara Penggugat dan Tergugat II intervensi,” jelasnya.
“Sehingga merupakan masalah internal Partai Demokrat yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui Mahkamah Partai Demokrat sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Sampai saat gugatan a quo didaftarkan, mekanisme melalui Mahkamah Partai Demokrat belum ditempuh oleh penggugat,” sambung Suharto. (Abn)