NasionalPolitik

Pengamat Sebut Elite Jadi Penyebab Ongkos Politik Mahal

12904
×

Pengamat Sebut Elite Jadi Penyebab Ongkos Politik Mahal

Sebarkan artikel ini
Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno.

JAKARTA, Rilpolitik.com – Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno turut merespons munculnya wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Dia berpendapat mengembalikan pilkada ke DPRD bukanlah solusi. Pun tak ada jaminan ongkos politik akan menjadi murah jika gubernur hingga bupati dan wali kota dipilih oleh legislatif.

Apalagi, kata Adi, yang menyebabkan ongkos politik menjadi mahal adalah elite politik itu sendiri. Bahkan, mereka juga yang menyetujui tingginya anggaran politik. Baginya, tak masuk akal jika harus mengorbankan Pilkada langsung yang disebut-sebut sebagai pesta rakyat dengan alasan efisiensi anggaran.

“Siapa aktor yang bikin ongkos politik mahal? Jawabannya elit. Mereka yang borong partai dengan mahar fantastik. Mereka pula yang suka bagi-bagi uang, sembako, kerudung, rebana, aspal jalan, beras, gula, umrohin orang, sapi limosin, dan sejenisnya,” kata Adi dalam keterangannya pada Sabtu (14/12/2024).

“Elit pula yang bikin regulasi soal pemilu dan pilkada. Mereka juga yang menyetujui anggaran politik yang trilyunan itu. Termasuk mereka jualah yang memilih para komisoner pengelenggara dengan fasilitas negara kelas wahid,” lanjutnya.

Menurut Adi, elite politik hanya menjadikan rakyat sebagai gincu politik. Dia menegaskan, tak ada keterlibatan rakyat dalam urusan tingginya ongkos politik di Indonesia.

“Sama sekali tak ada peran rakyat di urusan politik mahal. Rakyat sebatas objek. Rakyat cuma bahan jualan pemanis gincu untuk dapat simpati. Rakyat ke TPS secara suka rela dengan atau tanpa dikasi apapun. Lalu, kenapa ‘pesta rakyat’ yang bakal dikorbankan?” tanyanya.

Namun demikian, ia sepakat bahwa pilkada harus dievaluasi. Tetapi bukan berarti harus mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.

“Mengembalikan pilkada ke DPRD bukan satu-satunya solusi. Lagi pula tak ada yang jamin ongkos politik murah jika dipilih DPRD. Justeru, politik berbiaya mahal bakal geser ke elit,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu pun memberikan solusi untuk menekan agar biaya Pilkada tidak terlalu mahal.

“Solusinya begini. Tetap pilkada langsung, tapi haramkam mahar politik. Haramkan politik uang, sembako, dan logistik lainnya. Komisioner KPU ad hod saja dibentuk tiap lima tahun jelang pemilihan. Kasih anggaran minimalis. Toh kotak suaranya pakai kardus ini. Fasilitas komisioner kelas biasa saja. Siapa yang bisa eksekusi begini? Jawabannya adalah elit,” bebernya.

Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, diskursus kepala daerah dipilih DPRD bukan hal baru. Dia mengatakan diskursus itu sudah muncul sejak era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Sebagai reminder bersama, diskursus tentang kepala daerah dipilih DPRD terjadi sejak SBY jadi presiden. Bahkan sempat ada ketentuan kepala daerah dipilih dewan daerah. Tapi ketentuannya lekas dibatalkan,” ungkapnya.

Diketahui, wacana pemilihan kepala daerah seperti gubernur hingga bupati dan wali kota dipilih DPRD muncul kembali setelah wacana tersebut dilempar oleh Presiden Prabowo Subianto dalam acara puncak peringatan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Bogor, Jawa Barat pada Kamis (12/12/2024).

Salah satu pertimbangannya adalah efisiensi anggaran dan tingginya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh konstestan yang bertarung pada Pilkada.

(Ah/rilpolitik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *