Penulis adalah Fauzi As, pengamat kebijakan publik.
Sejak tahun 2022, anggaran sebesar 52 miliar rupiah untuk program UPLAND seolah hanya menjadi bahan bancakan. Kini 2025 ditambah lagi belasan miliar.
Di atas kertas, ini adalah program strategis kerja sama Pemerintah Indonesia dengan IFAD dan ISDB untuk membantu petani di dataran tinggi.
Di lapangan, program ini justru berubah jadi mesin penghisap: menyedot setoran, memeras kelompok tani, dan memupuk kekuasaan segelintir elite lokal.
Saya pernah menulis kritik dua tahun lalu, dengan harapan membuat mereka sadar.
Nyatanya, bukan hanya tidak sembuh, mereka malah tumbuh lebih berani, lebih sistematis, dan lebih rakus.
Mungkin karena merasa dilindungi oleh lingkaran elite Jakarta dan kebal terhadap hukum.
Maka hari ini, saya tak lagi menulis sekadar mengingatkan, melainkan mengajak seluruh pihak untuk ikut mengawal dan menjadikan ini sebagai kasus hukum.
Dari Bantuan Menjadi Pemalakan
Para petani, yang awalnya menyambut UPLAND dengan harapan besar, kini justru mengeluh. Bukannya dibantu, mereka malah ditindas oleh skema-skema koordinasi yang tidak masuk akal.
Sebelum bantuan turun, ada ‘pengarahan teknis’ yang intinya cuma satu: “Setor dulu 20 persen, baru cair”.
Setoran ini bukan pajak, bukan iuran, bukan zakat. Tapi semacam ‘upeti modern’ dibungkus dengan istilah “koordinasi lapangan” atau “penyesuaian administratif”. Disetor kepada siapa?
Bukan ke rekening negara, tentu saja. Tapi kepada jaringan tidak resmi yang mengklaim “koordinasi internal”.
Setelah setor, bantuan datang.
Kelompok tani dipaksa membeli alat dan dari toko tertentu yang sudah “ditentukan”.
Harga? Sudah diatur dalam RAB, dan lebih mahal dari harga pasar. Tidak ada ruang negosiasi. Petani bukan penerima, tapi pembeli yang dibelenggu.
Dua Kelompok, Satu Keluarga
Yang lebih tragis, tahun ini UPLAND justru terkesan menjadi kado politik bagi pasangan kekuasaan.
Dua kelompok tani penerima bantuan diduga kuat berada di bawah kendali satu keluarga bisa saja punya pengaruh dalam lingkar proyek.
Ironi ini membuat bantuan tak lagi terasa sebagai kebijakan negara, tapi hadiah ulang tahun keluarga elite.
Apa hasilnya? Kelompok lain hanya bisa gigit jari. Mereka yang benar-benar butuh dan memenuhi syarat teknis justru disisihkan.
Karena di era UPLAND ini, bukan profesionalisme yang menentukan, melainkan koneksi dan kedekatan dengan penguasa lokal.
Panen Gimik, Bukan Panen Produksi
Kita masih ingat, di tahun 2022 ada gelaran panen raya di hadapan bupati dan pejabat daerah. Sesi foto, video, dan tepuk tangan menggema. Tapi faktanya, bawang merah yang dipanen kala itu bukan hasil dari program UPLAND.
Bahkan bibitnya pun bukan dari bantuan pemerintah. Semua hanya gimik. Seremonial. Panggung citra.
Kritik saya saat itu tidak digubris. Mungkin karena tidak langsung menyinggung aktor-aktor utama yang berlindung di balik nama lembaga atau silsilah politik.
Kini saatnya kita bicara lebih jujur dan keras. Proyek ini tidak gagal karena teknis. Ia gagal karena sistematis dijadikan ruang korupsi berjamaah.
Siapa Panen Paling Dulu? Bukan Petani.
Dalam logika sehat, petani harus jadi yang pertama menikmati hasil program. Tapi di kenyataan lapangan, yang pertama panen justru adalah para koordinator bayangan.
Mungkin mereka yang tak pernah hadir saat pelatihan, tak pernah menyentuh tanah, tapi tahu betul kapan dana cair, dan ke mana harus ‘menyetor’.
Petani hanya jadi alat formalitas. Surat pernyataan, berita acara, laporan kemajuan, semuanya disusun untuk menggambarkan keberhasilan. Tapi di sawah, yang tumbuh hanyalah kekecewaan.
Program UPLAND telah berubah menjadi UPLINE: Uang Petani Langsung Infaq ke Elit. Sebuah sindiran pahit, tapi terlalu dekat dengan realitas.
Pertanyaan untuk IFAD, ISDB, dan Negara
Apakah IFAD dan ISDB tahu bahwa dana yang mereka pinjamkan demi kesejahteraan petani justru dijadikan celengan politik oleh segelintir aktor lokal?
Apakah mereka menyadari bahwa sistem yang mereka dukung tidak sedang memperkuat ketahanan pangan, tetapi memperluas ladang rente?
Dan kepada negara, kepada Pak Menteri Pertanian, apakah Anda tahu, atau pura-pura tidak tahu? Apakah ini memang dibiarkan agar siapa saja yang dekat kekuasaan bisa ikut menikmati remah-remah anggaran?
Ajakan untuk Mengawal Hukum
Kami tak ingin bantuan dihentikan. Kami ingin program ini diselamatkan. Tapi penyelamatan tak bisa dimulai dari kata-kata manis atau klarifikasi belaka.
Harus ada keberanian untuk membongkar dan memproses mereka yang menjadikan program negara sebagai lumbung pribadi.
Sudah cukup kelompok tani menjadi sapi perah. Sudah cukup petani diseret ke dalam sistem busuk yang didesain untuk menampung uang haram.
Kami mengajak aparat penegak hukum, jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menjadikan Proyek UPLAND sebagai kasus hukum. Karena jika tidak, ini akan terus menjadi warisan busuk dalam sejarah pertanian Sumenep.
Akhir Kata: Lawan Bukan Bantuan, Tapi Penyimpangan
Petani tidak butuh belas kasih. Mereka butuh keadilan.
Mereka bukan objek yang bisa dijual-belikan oleh elite lokal. Dan negara, jika masih memiliki nurani, harus segera turun tangan.
Karena jika tidak, UPLAND hanya akan dikenang sebagai simbol baru dari korupsi berjubah pembangunan.
Dan rakyat, lagi-lagi, hanya bisa menyaksikan dari pinggir, bagaimana sawah mereka disulap jadi ladang persekongkolan.