NasionalPolitik

Rekrutmen Tamtama TNI: Dari Barak ke Sawah, Membangun Ketahanan Pangan, Menjaga Kedaulatan Bangsa

×

Rekrutmen Tamtama TNI: Dari Barak ke Sawah, Membangun Ketahanan Pangan, Menjaga Kedaulatan Bangsa

Sebarkan artikel ini
Koordinator nasional HAM-I, Asip Irama.

Di tengah guncangan global—dari perang terbuka hingga ancaman kelangkaan pangan—Indonesia memilih jalan yang tak lazim: mengirim prajurit ke ladang, bukan ke medan perang. TNI Angkatan Darat mengumumkan rekrutmen 24 ribu tamtama baru untuk membentuk Batalyon Teritorial Pembangunan. Tugas mereka bukan semata menjaga batas negara, melainkan turut menggarap sawah, menggembala ternak, dan memastikan lumbung desa tak pernah kosong.

Sebagian mungkin terkejut. Bukankah urusan pangan adalah domain Kementerian Pertanian? Apakah ini pertanda tumpang tindih atau bahkan pengambilalihan fungsi? Namun kami di Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) membaca ini bukan sebagai perebutan, melainkan penguatan. Ini bukan pengganti peran sipil, tapi bentuk keterlibatan aktif militer dalam medan yang lebih kompleks—yakni ketahanan bangsa dalam makna yang lebih luas.

Hari ini, pertahanan tak cukup dengan menyiapkan pasukan bersenjata. Ia harus dibangun dari pondasi paling dasar: makanan. Di tengah ketegangan global yang mengancam pasokan logistik internasional, Indonesia tak boleh lengah. Ketahanan pangan bukan lagi urusan ekonomi semata, tapi bagian integral dari pertahanan nasional. Tanah tak bisa dipertahankan oleh perut yang lapar. Dan dalam perang modern, gandum bisa lebih menentukan dari granat.

Rekrutmen ini membawa pendekatan segar terhadap konsep pertahanan rakyat semesta—di mana seluruh elemen bangsa, termasuk prajurit, terlibat dalam menjaga kedaulatan dari hulu ke hilir. Ketika para tamtama membantu menghidupkan 30 ribu hektar lahan pertanian di berbagai kabupaten, kita tak hanya sedang menanam padi. Kita sedang menanam harapan. Menanam jaminan hidup.

Ini pula alasan mengapa HAMI mendukung penuh kebijakan ini. Sebab ia membuka cara pandang baru tentang pengabdian. Bahwa menjadi prajurit hari ini bukan hanya soal barak dan senapan, tetapi juga tentang membajak sawah, memberi makan rakyat, dan menjaga hidup dari dasar yang paling sunyi: pangan.

Langkah ini seolah membawa kembali semangat berdikari ala Sukarno. Ketika beras menjadi simbol kedaulatan, dan sawah menjadi medan perjuangan. Kini, di tengah kerapuhan ketergantungan global, kita sedang memungut kembali serpihan-serpihan cita-cita itu. Bukan dengan retorika, tapi dengan langkah konkret—menanam, memanen, dan membangun dari pinggiran.

Kritik tentu akan muncul. Tentang anggaran yang besar. Tentang militerisasi ranah sipil. Namun mari kita jujur: pembangunan di desa-desa selama ini terlalu lambat jika hanya bertumpu pada satu kementerian. Dengan kehadiran TNI, desa-desa terpencil tak lagi menunggu. Negara hadir secara nyata, lewat tangan-tangan prajurit yang tak hanya bisa berjaga, tapi juga bekerja.

Apalagi dalam skenario terburuk—katakanlah jalur distribusi pangan global terganggu akibat perang besar atau embargo—siapa yang bisa diandalkan untuk menjaga pasokan pangan kita? Siapa yang sanggup bergerak cepat, mendistribusi, sekaligus menjaga ketertiban? TNI adalah jawaban yang realistis. Dan jika mereka sudah dibekali pengalaman membangun sistem pangan dari desa, maka kita sedang menyiapkan barisan pertahanan yang lebih kokoh dari sekadar senjata.

Bagi generasi muda, ini juga momentum penting. Banyak dari mereka mencari bentuk pengabdian yang nyata. Program ini memberi mereka jalan: bergabung sebagai tamtama bukan hanya berarti menjadi bagian dari angkatan bersenjata, tapi juga bagian dari solusi. Di sana ada kebanggaan, ada makna, ada peran nyata yang bisa dibawa pulang ke kampung halaman.

Namun perlu digarisbawahi: program ini harus berjalan dengan prinsip kehati-hatian. Koordinasi lintas lembaga, transparansi anggaran, hingga evaluasi berkala mutlak dilakukan. Kita tak ingin semangat besar ini terjebak dalam logika proyek. Ini harus menjadi kerja jangka panjang yang strategis, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.

Apa yang sedang dibangun oleh TNI bukan hanya “batalyon pangan”, tetapi semangat baru: bahwa menjaga Indonesia tidak cukup dengan membentengi batas, tapi juga menanam dan memanen dari dalam. Ini adalah tafsir baru atas nasionalisme, yang tak gagah di podium, tapi diam-diam menghidupi rakyat.

HAMI memandang langkah ini sebagai bentuk pergeseran paradigma yang patut diapresiasi. Ketika institusi militer membuka dirinya untuk berkontribusi pada pembangunan pangan, maka kita sedang menyaksikan institusi negara yang tidak kaku, tidak elitis, dan tidak terkungkung pada dogma lama. Justru di situlah negara hadir dalam bentuk paling nyata.

Akhirnya, kita tak sedang membicarakan prajurit biasa. Kita bicara tentang sosok baru dalam lanskap kebangsaan: prajurit-petani, penjaga sekaligus penggarap, pelindung sekaligus pemelihara. Dan barangkali, dalam tangan merekalah Indonesia bisa bertahan—bukan karena senjatanya, tetapi karena cintanya pada tanah dan rakyatnya sendiri. (*)

*Penulis adalah Asip Irama, Koordinator Nasional Himpunan Milenial Indonesia (HAM-I)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *