SUMENEP, Rilpolitik.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Madura menduga adanya indikasi penyelewengan dalam proyek pondasi dan urugan di Desa Aengbaja Kenek, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
Proyek pengurukan pesisir yang terletak di Dusun Cangkarman itu disebut tidak sepenuhnya merupakan proyek Pemdes Aengbaja Kenek.
Anggota YLBH Madura, Dayat Mahjong mengatakan pengurukan pesisir Cangkarman itu dikerjakan secara gotong-royong oleh masyarakat setempat dengan menggunakan dana mandiri yang bersumber dari hasil retribusi kendaraan bermotor yang masuk ke Pelabuhan Cangkarman.
Namun kata Dayat, berdasarkan prasastinya, proyek tersebut seolah dikerjakan sepenuhnya oleh Pemdes Aengbaja Kenek dengan menggunakan Dana Desa (DD).
Berdasarkan prasasti proyek yang dilihat rilpolitik.com, proyek tersebut dikerjakan pada tahun 2024 dengan pagu anggaran sebesar Rp82.609.600 yang bersumber dari Dana Desa (DD). Adapun volume dari proyek tersebut adalah 40×12,50 meter. Namun, angka “1 dan 50” pada prasasti tersebut tampak seperti dihapus, sehingga sepintas terlihat 40×2 M.
“Persoalannya, ini kan bukan sepenuhnya proyeknya Pemdes. Kenapa kok tiba-tiba ini (berdasarkan prasasti) seolah-olah dikerjakan semuanya oleh Pemdes?” kata Dayat kepada rilpolitik.com pada Jumat (20/12/2024).
“Ini yang bikin masyarakat setempat dari hasil pungutan terhadap sopir kendaraan bermotor yang masuk ke dermaga,” imbuhnya.
Dayat mengakui, memang ada bagian yang dikerjakan oleh pihak pemdes. Namun, menurutnya, hanya beberapa meter saja dari proyek tersebut. “Masih lebih banyak yang dikerjakan oleh warga dari dana retribusi tadi,” tuturnya.
Sebab itu, ia tidak yakin proyek tersebut menghabiskan dana hingga Rp82 juta lebih. “Dari mana bisa memakan anggaran segitu banyak? Wong yang mereka kerjakan cuma dikit kok,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan warga setempat. Salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya mengakui bahwa proyek tersebut dikerjakan secara mandiri oleh masyarakat dari hasil retribusi kendaraan bermotor.
Dia mengatakan, warga mengerjakan proyek tersebut dengan cara dicicil sejak 2022 lalu. Hal itu lantaran keterbatasan dana.
Karena itu, dia merasa tak terima pekerjaan yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat tiba-tiba diklaim sebagai proyek desa.
Dia juga menyoroti pembatas tengah yang dibuat pihak pemdes. Menurutnya, pembatas itu menunjukkan kepemilikan lahan yang lebih banyak pemdes ketimbang masyarakat. Padahal, kata dia, harusnya lebih banyak milik masyarakat.
“Pemdes itu hanya nambah sedikit saja di sisi bagian barat. Tapi batas yang dibuat seolah-olah lebih banyak milik pemdes. Jadi pemdes makan ke masyarakat,” katanya.
“Jadi kalau diklaim yang ngerjain adalah Pemdes, itu sama saja kayak Belanda. Rakyat disuruh kerja tiba-tiba diklaim masuk anggaran DD,” lanjutnya.
Dia juga tidak yakin pengerjaan yang disebut hanya sedikit itu bisa menghabiskan dana hingga Rp82juta. “Itu juga secara keseluruhan palingan cuma berapa meter. Saya berani taruhan, nggak bakal sampai Rp30 juta kalau saya yang ngerjain,” ujarnya.
Lebih lanjut, sumber tersebut juga menuturkan bahwa masyarakat awalnya berencana menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat antre kendaraan yang hendak masuk dermaga.
“Tapi dari pihak pemdes isunya mau dibikin musolla atau toilet begitu,” tuturnya.
(Ah/rilpolitik)