NasionalPolitik

Empat Pulau Aceh: Makna Politik dari Keputusan Prabowo dan Diplomasi Sunyi Dasco

×

Empat Pulau Aceh: Makna Politik dari Keputusan Prabowo dan Diplomasi Sunyi Dasco

Sebarkan artikel ini
Koordinator Nasional HAM-I, Asip Irama.

Empat pulau kecil di ujung barat Indonesia—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Nipah—akhirnya dikembalikan ke Aceh. Keputusan ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan tafsir politik yang dalam tentang relasi pusat dan daerah, tentang memori kolektif, dan tentang cara negara merawat kedaulatannya sendiri.

Sebelumnya, publik sempat dibuat geger oleh keputusan Kemendagri yang memindahkan empat pulau tersebut dari Aceh Singkil ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Padahal, dalam sejarah maupun keseharian masyarakat, pulau-pulau itu lebih dekat secara geografis, genealogis, dan sosiologis ke Aceh.

Keputusan administratif yang kering itu seperti mengabaikan dimensi simbolik dari ruang hidup. Negara tampak ingin mengatur peta tanpa mendengar narasi. Tetapi seperti biasa, geografi bukan sekadar soal koordinat. Ia menyimpan ingatan. Ia merekam luka. Ia menuntut pengakuan.

Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang mengembalikan empat pulau tersebut ke Aceh adalah pembalikan arus: dari birokrasi yang dingin menjadi politik yang mengandung kepekaan. Presiden memahami bahwa wilayah bukan semata tanah, melainkan juga kehormatan. Dalam satu tindakannya, Prabowo telah menyampaikan pesan halus: bahwa kedaulatan daerah, terutama Aceh yang punya sejarah istimewa, tidak bisa diputus hanya dengan tanda tangan kementerian.

Namun, tafsir politik ini tak lengkap jika tak menyebut nama Dasco—Sufmi Dasco Ahmad—Ketua Harian Partai Gerindra yang selama ini tampak tenang, namun memainkan peran kunci dalam diplomasi sunyi ini. Ia hadir langsung dalam pengumuman pengembalian pulau-pulau ke Aceh, bukan Prabowo. Ini bukan kebetulan. Dasco adalah tangan kanan Prabowo, dan dalam banyak urusan genting, dialah yang menjembatani antara kepentingan elite dan aspirasi rakyat.

Kita bisa melihat tindakan ini sebagai penegasan Prabowo terhadap model kepemimpinan yang delegatif namun tetap terarah. Ia bukan tipe pemimpin yang harus selalu tampil di depan kamera, tapi tahu kapan harus hadir secara simbolik dan kapan harus bekerja lewat para “jenderalnya”.

Sebagian pihak mungkin akan melihat keputusan ini sebagai bentuk koreksi politik, dan memang demikian adanya. Namun lebih dari itu, ini adalah cara Prabowo membangun ulang kepercayaan antara pusat dan Aceh. Ia memahami bahwa Aceh bukan sekadar provinsi—ia adalah narasi yang kompleks, penuh luka sejarah dan semangat perlawanan. Memulihkan kepercayaan Aceh kepada pusat tidak bisa dilakukan lewat proyek-proyek infrastruktur semata, melainkan lewat pengakuan atas hal-hal yang tampak kecil, namun bermakna besar—seperti empat pulau yang dikembalikan.

Pulau-pulau itu, kecil dan mungkin tak berpenghuni, menjadi simbol betapa rapuhnya rasa keadilan jika negara tidak awas. Tapi sekaligus menjadi bukti, bahwa politik yang berpihak masih mungkin. Bahwa pemimpin yang mendengar masih ada. Bahwa jalan sunyi seperti yang ditempuh Dasco masih relevan dalam hiruk-pikuk demokrasi kita yang sering gaduh namun kosong makna.

Dan dengan itu, kita pun belajar bahwa peta bukanlah sekadar gambar di atas kertas. Ia adalah sejarah yang terus ditulis ulang oleh siapa yang berkuasa, oleh siapa yang bersuara, dan oleh siapa yang bersedia mendengarkan. Keputusan tentang empat pulau ini mungkin tak masuk headline dunia, namun di sanubari rakyat Aceh, ia akan tinggal sebagai bukti bahwa negara masih bisa belajar dari kesalahan, dan mengakui jejak-jejaknya yang keliru.

Dalam sunyi laut di sekitar pulau-pulau itu, kita dengar gema dari masa depan yang pelan-pelan disusun kembali—dengan rasa hormat, bukan sekadar kuasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *