SURABAYA, Rilpolitik.com – Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumenep Nomor 2627 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep Tahun 2024 resmi digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, Jawa Timur.
Gugatan itu disampaikan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sumenep 2024 nomor urut 1, KH Ali Fikri-Unais Ali Hisyam (FINAL) melalui kuasa hukumnya, Sulaisi Abdurrazaq.
Gugatan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 18/G/2025/PTUN.SBY tertanggal 10 Februari 2025.
Penggugat mempersoalkan diktum ketiga pada SK KPU Sumenep 2627/2024 karena dinilai rancu. Sebab, dalam SK tersebut terdapat dua tanggal penetapan yang berbeda, yakni 6 Desember 2024 dan 5 Desember 2024.
Tanggal penetapan yang ganda itu terbukti telah merugikan hak konstitusional penggugat di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permohonan sengketa hasil Pilkada Sumenep dengan Nomor 206/PHPU.BUP-XXII/2025.
Diktum ketiga pada SK KPU Sumenep 2627/2024 yang dipersoalkan itu berbunyi:
“Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sumenep Tahun 2024 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU ditetapkan dan sekaligus sebagai pengumuman pada hari Jumat tanggal Enam Bulan Desember Tahun Dua Ribu dua Puluh Empat pukul Sembilan Tiga Puluh WIB”.
Kemudian, pada tanggal penetapan di bagian bawah, KPU Sumenep menuliskan, “Ditetapkan di Sumenep pada tanggal 05 Desember 2024”.
Penggugat menilai perbedaan tanggal pengumuman dan penetapan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 ayat (4) Peraturan KPU No. 18/2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota.
Selain itu, juga bertentangan pula dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 tahun 2024 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Kuasa hukum FINAL, Sulaisi Abdurrazaq menduga KPU Sumenep telah dengan sengaja memasukkan redaksi yang berpotensi memunculkan multitafsir pada SK 2627 guna mengelabui paslon FINAL dalam upaya menggugat hasil Pilkada Sumenep ke MK.
Sebab, KPU Sumenep selaku tergugat dalam agenda sidang Jawaban di MK tanggal 17 Januari 2025, mengajukan eksepsi dengan mendalilkan bahwa permohonan yang diajukan para Penggugat ke Mahkamah Konstitusi telah melewati tenggang waktu dan meminta agar permohonan tersebut dinyatakan Tidak Dapat Diterima.
Artinya, KPU Sumenep menggunakan tanggal 5 sebagai tanggal penetapan hasil Pilkada. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU No. 10/2016, pengajuan permohonan pemohon ke MK harusnya maksimal hari Senin, 9 Desember 2024. Sementara, permohonan pemohon diajukan ke MK pada Selasa 10 Desember 2024.
“Sehingga kami menduga KPU sengaja menuangkan redaksi (dua tanggal penetapan yang berbeda) itu untuk mengelabui paslon FINAL, sehingga paslon FINAL tidak memiliki kesempatan atau terlambat dalam mengajukan gugatan ke MK,” kata Sulaisi kepada rilpolitik.com pada Senin (10/2/2025).
Adapun petitum gugatan adalah meminta PTUN Surabaya untuk menunda pelaksanaan SK KPU Sumenep Nomor 2627/2024 tentang Penetapan Hasil Pilkada Sumenep 2024.
Penggugat juga meminta PTUN Surabaya mewajibkan KPU Sumenep untuk mengubah isi diktum ketiga pada SK 2627 dari tanggal 6 menjadi 5 sebagai tanggal penetapan.
Sulaisi menjelaskan alasan KPU Sumenep harus memperbaiki redaksi pada SK tersebut. Menurutnya, hal itu sebagai edukasi hukum sekaligus edukasi politik.
“Edukasi hukumnya bahwa paslon FINAL itu ingin menyelamatkan agar tidak terjadi atau tidak muncul kerugian negara. Apabila nanti penetapan terhadap bupati terpilih didasarkan atau dilandaskan pada penetapan yang keliru, maka potensial penetapan-penetapan berikutnya itu keliru, termasuk penetapan pemenang, termasuk nanti SK yang dikeluarkan oleh Kemendagri yang akan dibacakan pada saat pelantikan. Itu potensial SK itu cacat menurut hukum karena didasarkan pada penetapan yang cacat,”
“Jadi kita ingin menyelamatkan agar tidak terjadi kerugian negara, tidak muncul konflik sosial dan agar penetapan atau keputusan-keputusan berikutnya itu tidak bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama berkaitan dengan asas kecermatan, asas kepastian hukum, asas tidak berpihak dan lain-lain,” pungkasnya.
(Ah/rilpolitik)