Polri adalah institusi hukum yang menuntut gerak, bukan hanya dalam menangani perkara, tetapi dalam membangun sistem, memperbarui etika, dan menyegarkan kepemimpinan. Namun ketika satu figur terlalu lama duduk di pucuk kekuasaan, institusi yang mestinya hidup justru membeku. Inilah yang kini dirasakan oleh publik dan para kader internal terhadap kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Jenderal Sigit menjabat sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia sejak Januari 2021. Hingga pertengahan 2025, masa jabatannya telah menembus empat setengah tahun—terpanjang sejak era reformasi. Durasi ini bukan semata angka, tetapi pertanda bahwa sirkulasi kepemimpinan di tubuh Polri sedang tidak sehat. Sejumlah kader potensial tidak memperoleh ruang untuk naik karena regenerasi terhenti di lapisan atas.
Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI) melihat langsung gejala stagnasi ini. Di bawah kepemimpinan yang terlalu lama, dinamika kelembagaan Polri justru melambat. Penyegaran visi tidak terjadi. Visi “Polri Presisi” yang pernah menjadi jargon harapan kini hanya menjadi slogan administratif. Di saat tantangan publik semakin kompleks, Polri justru kehilangan daya dorong internalnya untuk berubah.
Dalam dunia kepemimpinan institusional, lamanya jabatan tidak selalu identik dengan kestabilan. Bahkan sebaliknya, ketika terlalu lama dibiarkan tanpa sirkulasi, lembaga menjadi nyaman dengan status quo. Dalam kasus Polri, itu berarti membiarkan proses kaderisasi mandek, dan menumpuk persoalan budaya lama tanpa koreksi.
HAMI meyakini bahwa regenerasi kepemimpinan adalah syarat mutlak untuk menghidupkan kembali semangat reformasi Polri. Namun regenerasi tidak akan berjalan jika kepemimpinan lama tidak diberi batas waktu. Oleh karena itu, kami menyampaikan secara terbuka: Presiden Prabowo Subianto perlu mengambil langkah korektif dengan mengganti Kapolri sebagai bagian dari komitmen politik terhadap reformasi institusi hukum.
Momentum Hari Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli 2025 menjadi titik waktu yang simbolik sekaligus strategis. Bukan semata untuk menghormati masa pengabdian Jenderal Sigit, tetapi sebagai penanda bahwa pemerintahan baru tidak akan membiarkan institusi hukum dikendalikan oleh kepemimpinan yang stagnan.
Kami tidak menyoal siapa yang akan diangkat menjadi Kapolri selanjutnya. Tapi kami menegaskan kriteria: figur yang bersih, punya integritas, mampu melampaui tekanan politik, dan berani mereformasi kultur Polri dari dalam. Bukan semata berganti nama, tapi berganti paradigma.
Presiden Prabowo kini memegang mandat konstitusional dan tanggung jawab moral. Jika ia ingin menegaskan bahwa pemerintahannya berdiri di atas cita-cita keadilan dan meritokrasi, maka inilah saatnya menunjukkan komitmen itu. Tidak dengan retorika, tetapi dengan tindakan: mengganti pucuk pimpinan Polri, dan membuka jalan bagi regenerasi yang sehat.
HAMI percaya, pergantian ini bukan sekadar urusan internal lembaga. Ini adalah pesan politik bagi publik: bahwa negara masih punya daya untuk memperbaiki dirinya sendiri. Polri bukan milik segelintir elite, tetapi institusi yang seharusnya menjamin rasa aman dan keadilan bagi seluruh rakyat. Maka proses ini harus dijaga dari transaksi politik, dan diarahkan sepenuhnya pada kepentingan rakyat.
Reformasi Polri yang sejati tidak mungkin lahir dari kepemimpinan yang terlalu lama diam di tempat. Ia hanya bisa dimulai ketika regenerasi diberi ruang, dan keberanian untuk berubah dijadikan prinsip utama. (*)
*Penulis adalah Asip Irama, Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI).
**DISCLAIMER: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi Asip Irama dan tidak mewakili pandangan redaksi rilpolitik.com.