JAKARTA, Rilpolitik.com – Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan KPU bisa mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat batas usia calon kepala daerah dengan berpedoman undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Sebagai informasi, MA melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, mengubah syarat berusia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati, calon wali kota dan wakil wali kota dihitung saat pelantikan calon terpilih.
“Kalau kita lihat undang-undang nomor 10 2016 jelas, untuk mencalonkan dan dicalonkan, bukan untuk dilantik. Karena itu, kalau misalnya KPU berpatokan pada UU, dia bisa abaikan putusan MA tersebut karena patokan dia adalah UU,” kata Refly kepada wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu (1/6/2024).
Refly menyebut aturan yang tertuang dalam PKPU juga sudah jelas bahwa usia 30 tahun diberlakukan sejak penetapan pasangan calon. Sehingga jika aturan usia minimal 30 tahun berlaku pada saat pasangan tersebut dilantik, maka tidak memiliki dasar hukum.
“Jadi kalau seandainya misalnya PKPU itu dianggap berlebihan, maka berlebihannya itu adalah berusia 30 tahun sejak ditetapkan sebagai calon. Nah sejak ditetapkan sebagai calon boleh dicoret, maka kembali ke UU berusia 30 tahun sejak mencalonkan atau dicalonkan,” jelas Refly.
Refly mengatakan, diksi ‘saat mencalonkan’ dan ‘saat dantik’ itu memiliki makna yang berbeda.
“Jadi kita harus pake logic, mencalonkan sama dilantik beda kan artinya. Sejak mencalonkan itu sejak bawa berkas dan diterima berkasnya dilihat sudah usia 30 tahun atau tidak. Kalau sejak dilantik, kita tidak punya kepastian hukum,” pungkasnya.
Diketahui, MA mengubah syarat usia calon kepala daerah yang tertuang dalam Pasal Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu dari ‘dihitung saat pendaftaran’ menjadi ‘saat pelantikan’.