Penulis adalah Asip Irama, Direktur Eksekutif Indopublika.
Ada yang retak dalam logika kekuasaan ketika seorang pejabat tinggi negara, di depan publik, dengan enteng berkata: “Carilah kerja ke luar negeri agar membantu mengurangi pengangguran.”
Ucapan itu bukan sekadar pendapat pribadi. Ia adalah cermin cara berpikir seorang menteri terhadap rakyatnya sendiri. Dan itu menyakitkan.
Karena yang bicara bukan warga biasa, bukan pengamat ekonomi, bukan juru bicara pasar tenaga kerja global. Yang bicara adalah pejabat yang digaji oleh negara, dipilih untuk melayani kepentingan rakyat, dan diberi mandat untuk memperjuangkan kesejahteraan di dalam negeri.
Tapi alih-alih menyiapkan lapangan kerja, ia malah menyarankan rakyatnya pergi. Alih-alih memberdayakan, ia memilih melepaskan.
Mari kita sebut hal ini dengan nama yang tepat: itu adalah kegagalan kepemimpinan yang dibungkus dalam kalimat pragmatis.
Saat seorang menteri menyarankan rakyatnya mencari kerja ke luar negeri, maka yang ia lakukan bukan menyelesaikan pengangguran, tetapi memindahkan beban. Bukan menciptakan peluang, tetapi melempar tanggung jawab. Dan lebih dari itu: ia memperlihatkan bahwa dalam cara pandangnya, rakyat bukan lagi subjek pembangunan, tapi komoditas ekspor.
Di balik kalimat sederhana itu, ada cara pandang yang berbahaya: bahwa rakyat adalah beban statistik yang harus dikurangi, bukan manusia yang mesti dimuliakan.
Kita semua tahu, banyak anak bangsa yang pergi ke luar negeri demi bekerja. Ada yang berhasil, dan tak sedikit pula yang menjadi korban. Mereka adalah pekerja migran, bukan karena cita-citanya memang ke sana, tetapi karena tanah kelahiran mereka tak cukup memberi ruang untuk hidup.
Mereka bekerja di negeri orang, bukan karena kebanggaan, tapi karena keterpaksaan. Dan ketika mereka mengalami kekerasan, penipuan, kerja paksa, atau bahkan pulang dalam peti jenazah, negara kerap datang terlambat—jika tidak absen sama sekali.
Dalam konteks seperti itu, bagaimana mungkin seorang pejabat publik justru mengajak lebih banyak rakyat untuk pergi?
Bangsa yang besar tidak mengusir rakyatnya secara halus. Bangsa yang besar menciptakan alasan bagi warganya untuk tetap tinggal. Negara yang beradab tidak menggantungkan ekonomi pada devisa buruh migran, melainkan menanamkan keadilan ekonomi di dalam negeri.
Maka yang kita butuhkan bukan menteri yang memberi saran pragmatis, tapi pemimpin yang berani merancang sistem. Bukan yang menyuruh rakyatnya pergi, tapi yang membuka lahan kerja baru. Bukan yang memuji devisa, tapi yang menjaga martabat manusia.
Pernyataan seperti itu, bukan sekadar ketidakpekaan sosial. Ia juga merupakan bentuk pembangkangan diam-diam terhadap visi besar Presiden Prabowo Subianto, yang sejak awal menyatakan komitmennya untuk membangun kedaulatan pangan, membuka lapangan kerja di desa, dan memastikan rakyat tidak lagi dipaksa pergi hanya untuk bisa hidup.
Selama ini, Presiden Prabowo menggagas program hilirisasi, kedaulatan energi, dan swasembada pangan bukan semata soal ekonomi, tapi soal kehormatan bangsa—agar rakyat bisa bekerja dan hidup di tanah air sendiri, tanpa bergantung pada negara lain.
Dan ketika seorang menteri di bawah pemerintahannya justru menyuruh rakyat pergi bekerja ke luar negeri, maka itu bukan saja menyimpang dari arah visi presiden, tapi juga mempermalukan tekad luhur yang sedang beliau perjuangkan.
Pemerintah tidak boleh bicara dengan dua suara: satu menjanjikan pekerjaan di negeri sendiri, yang lain menyuruh pergi ke negeri orang.
Dalam hal ini, kritik kepada menteri bukan hanya penting, tapi wajib—demi menjaga marwah arah pembangunan nasional. Agar pemerintahan Pak Prabowo tidak kehilangan wajah di hadapan rakyatnya sendiri, hanya karena segelintir pejabat yang bicara tanpa berpikir.
Pernyataan itu juga menyingkap cara berpikir yang telah lama membekas di tubuh negara: bahwa manusia bisa dipuji karena kiriman uangnya, tetapi dibiarkan berangkat tanpa perlindungan, bekerja tanpa keadilan, dan pulang tanpa kejelasan. Bahwa rakyat tak harus dimuliakan di dalam negeri, asal bisa menghidupi keluarga dari luar negeri. Itu bukan kebijakan. Itu pelarian.
Rakyat bukan angka. Bukan grafik. Bukan komoditas. Rakyat adalah inti dari republik ini—mereka yang seharusnya dihormati, ditumbuhkan, dan dijaga.
Dan seorang pejabat yang menyuruh rakyatnya pergi, sesungguhnya sedang menyatakan ketidakmampuannya sendiri.
Kalau ia tak tahu cara membuka lapangan kerja, ia mestinya belajar. Kalau ia tak mampu memperjuangkan kesejahteraan rakyat di tanah air sendiri, ia mestinya diam. Tapi jika ia memilih bicara dan yang keluar adalah kalimat: “Pergilah ke luar negeri, cari kerja sendiri,” maka ia sedang meninggalkan tugasnya. Bukan sebagai menteri—tapi sebagai anak bangsa.
Negara ini terlalu luas untuk menyerah. Terlalu kaya untuk pasrah. Dan rakyat Indonesia terlalu berharga untuk dijadikan bahan ekspor.
Kita tidak butuh saran untuk pergi. Kita butuh alasan untuk tetap tinggal.