Di sebuah ruangan berlampu terang, lembar demi lembar uang tunai tersusun seperti altar pengakuan dosa. Bukan di bank, bukan di ruang audit, tapi di Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Senilai Rp11,8 triliun, uang itu dipertontonkan dalam bentuk paling telanjang: hasil sitaan korupsi dari kasus manipulasi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Sebuah tontonan yang ganjil sekaligus penting. Ganjil karena uang sebesar itu sempat berpindah tangan secara ilegal; penting karena negara akhirnya menunjukkan taringnya pada jaringan kekuasaan ekonomi yang selama ini dianggap tak tersentuh.
Nilai Rp11,8 triliun bukan sekadar angka. Ia adalah simbol luka kolektif. Sebab di balik deret nol itu tersembunyi harga minyak goreng yang sempat melambung, antrean emak-emak di pasar, petani sawit kecil yang ditekan harga, dan buruh yang digilas sistem. Korupsi ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pelanggaran terhadap rasa keadilan sosial yang paling dasar.
Kejaksaan Agung patut diapresiasi. Bukan hanya karena menyita uang dalam jumlah fantastis, tapi karena berani menyingkap praktik busuk yang melibatkan korporasi besar, terutama entitas-entitas terkait Wilmar Group. Di negeri di mana hukum sering tumpul ke atas, langkah ini memberikan sinyal bahwa negara masih bisa tegas terhadap kekuatan modal.
Namun, apresiasi tak boleh membuat kita lengah. Gunungan uang yang dipamerkan itu, betapapun spektakulernya, tak serta-merta menebus kerugian struktural yang telah diderita rakyat. Keuangan negara mungkin pulih sebagian, tapi bagaimana dengan kepercayaan publik yang selama ini terkikis oleh impunitas? Apakah uang sitaan bisa menambal luka para petani kecil atau ibu rumah tangga yang rela antre minyak goreng bersubsidi?
Kita harus bertanya lebih jauh: ke mana uang ini akan dibawa? Apakah akan masuk kas negara di bawah pengawasan publik, atau kembali menguap dalam birokrasi yang tak transparan? Di sinilah keadilan diuji—bukan hanya saat penyitaan, tetapi bagaimana hasil sitaan itu digunakan untuk memulihkan rakyat.
Kejaksaan Agung telah mengambil langkah hukum tegas dengan mengajukan kasasi atas putusan bebas (ontslag van alle rechtsvervolging) terhadap tiga grup korporasi sawit—Wilmar, Permata Hijau, dan Musim Mas—yang diputus lepas pada 19 Maret 2025 di PN Tipikor Jakarta Pusat. Kasasi diajukan oleh Kejagung pada 27 Maret 2025, menunjukkan bahwa penyitaan ini bukan sekadar simbol, tapi bagian dari proses hukum yang sedang dipertaruhkan.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa korupsi dalam sektor strategis seperti CPO merusak tidak hanya keuangan negara, tapi juga tatanan sosial dan ekologis. Indonesia mungkin penguasa sawit dunia, namun selama negara membiarkan manipulasi harga dan kuota oleh para pemain besar, kedaulatan kita atas komoditas nasional tinggal wacana.
Karena itu, tindakan Kejagung ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga pemulihan wibawa negara. Negara yang terlalu lama diam saat rakyat dihisap korporasi kini mulai berbicara lewat hukum.
Tetapi perjuangan belum usai saat uang itu dipamerkan. Ini harus diikuti oleh reformasi tata kelola CPO, regulasi yang berpihak pada produsen kecil, dan perlindungan harga domestik. Negara harus hadir nyata di ladang-ladang sawit rakyat, bukan hanya di ruang sidang atau konferensi pers.
Langkah Kejagung adalah sinyal positif. Namun agar sinyal itu benar-benar bermakna, diperlukan sistem hukum yang lebih tegas terhadap korporasi, lembaga pengawasan independen, dan partisipasi publik aktif dalam memastikan bagaimana uang pengembalian itu dikelola.
Masyarakat sipil, termasuk HAMI, punya tugas untuk terus mengawasi. Apresiasi tak berarti berhenti. Karena sejarah kita mencatat: pertunjukan hukum yang gemerlap sering meredup saat kamera padam.
Hari ini kita memberikan hormat kepada Kejagung. Namun besok, kita harus tetap waspada. Sebab keadilan sejati tak berhenti di ruang konferensi, tapi hadir di meja makan keluarga kecil di pelosok negeri.
Dan buat semua itu, pameran uang hanyalah langkah awal. Kita butuh keberanian, keteguhan, dan kejujuran untuk memastikan hukum bukan panggung, melainkan jalan. (*)
*Penulis adalah Asip Irama, Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI).