EkonomiNasional

Jejak Letjen Novi Helmy dan Warisan Pangan Nasional

×

Jejak Letjen Novi Helmy dan Warisan Pangan Nasional

Sebarkan artikel ini
Mayjen Novi Helmy. [Foto: istimewa]

Penulis adalah Asip Irama, Direktur Eksekutif Indopublika.


Di negeri yang saban waktu sibuk berbicara pertahanan, kita kerap lupa bahwa pertahanan sejati bukan hanya barikade senjata dan parade kekuatan. Di balik segala kekhawatiran akan perang, krisis justru lebih sering lahir dari sesuatu yang sunyi: kelaparan. Dan di titik itu, sejarah mencatat nama seorang perwira—Letjen Novi Helmy Prasetya—yang memilih menyeberang dari dunia senjata ke dunia beras.

Ketika ia ditunjuk menjadi Direktur Utama Perum Bulog pada Februari 2025, banyak yang terkejut. Seorang jenderal aktif dipercaya mengelola institusi pangan strategis nasional? Pertanyaan muncul, suara skeptis bergema. Namun Novi Helmy tidak menjawab dengan konferensi pers atau narasi panjang di media. Ia menjawab dengan bekerja. Diam-diam, tapi tegas.

Dari Seragam Loreng ke Gudang Logistik

Latar belakang Novi Helmy adalah dunia disiplin dan keteraturan. Ia tumbuh dari lingkungan Kopassus, pernah menjabat di Paspampres, hingga dipercaya sebagai Pangdam Iskandar Muda dan Asisten Teritorial Panglima TNI. Tapi bukan itu yang membuat penempatannya di Bulog menarik. Yang menarik adalah peralihan medan pengabdian: dari keamanan fisik ke ketahanan pangan, dari senapan ke sekam.

Penugasannya ke Bulog seolah menjadi pengakuan diam-diam bahwa pangan adalah bagian dari pertahanan nasional. Ia tak datang sebagai teknokrat pangan, tapi sebagai patriot yang memahami bahwa kedaulatan bangsa tidak cukup dijaga dengan pasukan—namun juga dengan memastikan rakyat tidak lapar.

Dan benar saja, langkah pertamanya sebagai Dirut Bulog adalah memastikan penyerapan gabah petani dalam negeri hingga 3 juta ton. Di tengah ketergantungan pada impor, ia memilih meneguhkan keberpihakan: berpihak pada petani, pada produksi lokal, pada sistem logistik dalam negeri yang kokoh.

Kerja Senyap, Arah yang Tegas

Novi Helmy bukan tipe pemimpin yang banyak bicara. Tapi arah kebijakannya jelas. Ia mempercepat distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) di tengah fluktuasi harga, mengoptimalkan sinergi dengan Kementerian Pertanian, TNI AD, dan Pemda.
Ia sepertinya membawa etos militer ke dalam tubuh Bulog yang selama ini dikenal lamban. Bukan dengan bentakan, tapi mungkin lewat keteladanan ritme kerja dan ketegasan arah.

Ia memahami bahwa gudang beras bukan sekadar tempat penyimpanan logistik, melainkan titik keseimbangan sosial. Di sanalah nasib petani, pedagang, dan rakyat miskin bertemu. Dan ia memilih untuk hadir, bukan duduk diam.

Pendek Tapi Mengakar

Tentu, tidak semua berjalan mulus. Masa jabatannya singkat, hanya sekitar empat bulan. Ia resmi mengakhiri masa tugasnya di Bulog pada akhir Juni 2025 melalui surat keputusan Menteri BUMN, dan digantikan oleh pejabat baru. Tapi singkatnya waktu tak menghapus jejak yang ia tinggalkan.

Dalam waktu yang pendek itu, ia telah menanam paradigma baru: bahwa memimpin Bulog bukan hanya soal manajemen stok dan angka-angka pasar, tapi soal keberanian mengambil sikap untuk menjadikan pangan sebagai kekuatan nasional. Ia mengembalikan narasi bahwa beras bukan hanya komoditas, tapi simbol kedaulatan.

Yang menarik, ketika perdebatan soal status militernya mencuat, Novi Helmy tak melawan. Ia justru mengambil jalan terhormat: mengundurkan diri dari dinas aktif militer demi bisa menjalankan tugas di Bulog secara konstitusional. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal integritas. Ia tahu, tidak cukup menjaga pangan, bila tidak bisa menjaga konstitusi. Dan itu adalah bentuk lain dari keberanian.

Warisan yang Tak Ramai Tapi Bermakna

Setelah ia meninggalkan Bulog, tidak banyak riuh. Tapi warisan tetap tinggal. Ia meninggalkan jejak dalam sistem logistik yang lebih sigap, penyerapan gabah yang lebih optimal, dan paradigma bahwa kerja pangan adalah kerja pertahanan.

Jejak Novi Helmy bukan dalam pidato, tapi dalam arah. Bukan dalam kata-kata, tapi dalam keputusan. Bukan dalam lamanya jabatan, tapi dalam keberanian mengambil posisi—yang kadang tak populer, tapi perlu.

Ia mungkin hanya singgah, tapi ia menanam. Dan dalam dunia yang sering dipenuhi pejabat penuh suara tapi kosong makna, kehadiran seperti Novi Helmy adalah nafas segar: ia tak datang untuk ramai-ramai, tapi untuk memberi arti.

Epilog: Tentara yang Tak Takut Lapar

Ada banyak jenderal yang gagah di barak, tapi sedikit yang berani masuk ke gudang padi. Novi Helmy adalah pengecualian. Ia memahami bahwa lapar bisa mengoyak tatanan lebih cepat dari peluru. Bahwa pertahanan tanpa pangan adalah rumah tanpa dasar.

Kini ia telah kembali ke dunia militer, atau setidaknya, ke jalur yang lebih tenang.
Saya ingin mencatat lewat tulisan ini: bahwa ia pernah hadir, dan kehadirannya membawa gagasan bahwa ketahanan bangsa bisa dibangun bukan hanya dengan keberanian bertempur, tapi juga dengan keberanian menanam.

Jika sejarah adil, kelak namanya akan disebut—tidak sebagai Dirut Bulog semata, tapi sebagai tentara yang menyumbangkan langkah senyap dalam perang paling mendasar: perang melawan kelaparan, kemiskinan, dan ketergantungan pangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *