EkonomiNasional

Aparat Represif, Negara Tanpa Solusi

×

Aparat Represif, Negara Tanpa Solusi

Sebarkan artikel ini
Gambar hanyalah ilustrasi buatan AI.

Di negeri tembakau, bukan sekadar daun emas pengisi kas negara, tapi juga ladang subur bagi aparat pemalak dan birokrat pemangsa.

Aromanya menyengat bukan karena kualitas tembakaunya, melainkan bau anyir dari hukum yang dipakai untuk menakut-nakuti si kecil dan melindungi si besar.

Setiap hari, pengangkut rokok ilegal ditangkap. Travel-travel kecil diburu. Sementara pabriknya entah di mana, mungkin tersembunyi di balik plakat CSR bertuliskan “Mitra Pemerintah dalam Mencerdaskan Bangsa”.

Negara ini memang canggih. Bisa menemukan truk berisi rokok ilegal di tikungan desa, tapi pura-pura buta pada triliunan uang cukai yang menguap entah ke mana.

Terbaru, dua mobil polisi dan satu mobil pengangkut rokok ilegal berserempet di Bangkalan. Untungnyap, hanya rumah warga yang rusak. Rupanya nyawa rakyat kecil memang sudah dijadikan mainan.

Tapi mari kita jujur: siapa yang benar-benar bersalah? Petani tembakau yang tidak diberi pilihan hidup layak? Buruh linting yang upahnya bahkan tak cukup beli sebungkus rokok yang mereka produksi? Atau sopir travel yang terpaksa menyelundup demi susu anaknya?

Pemerintah sibuk bicara penegakan hukum, tapi lupa menyediakan peta jalan keluar dari kemiskinan. Yang ditekan justru mereka yang mencoba bertahan, bukan mereka yang mengatur permainan.

Saya sudah pernah menulis, “TNI Serbu Bea Cukai”, bukan untuk provokasi, tapi sebagai metafora: bahwa aparat yang seharusnya menjaga bangsa justru terjebak dalam perang melawan rakyat.

Maka, jika pemerintah masih ingin bernapas dari sektor tembakau, dengarkan saran ini baik-baik: Empat Usulan Serius dari Rakyat Kecil yang Tak Punya Lobi.

1. Amnesti Cukai bagi UMKM Rokok Tradisional. Negara ini ahli memberi amnesti untuk koruptor pajak, tapi tak pernah memikirkan amnesti untuk pengusaha rokok rumahan.

Baca juga:  Debat Advokat: Gengsi Hukum, dan Goyangan Etika

Mereka yang ingin keluar dari bayang-bayang ilegal justru dipaksa menghadapi rimba birokrasi yang lebih ganas dari razia aparat.

2. Pendampingan Nyata dari Pemerintah Daerah. Dinas koperasi dan perindustrian lebih sibuk mengadakan pelatihan sablon daripada mendampingi sektor tembakau yang jelas menyumbang DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau).

Di Madura, petani tembakau lebih hafal harga lintingan daripada jadwal pelatihan dari pemerintah.

3. Akses Mudah ke Pita Cukai dan Skema Subsidi. Pita cukai adalah mimpi premium bagi pengusaha kecil. Untuk mendapatkannya, mereka harus punya gudang, jaminan bank, dan modal bersih.

Seperti mau masuk surga lewat jalur umum. Padahal, mereka hanya ingin hidup dengan wajar, bukan kaya mendadak.

4. Branding “Rokok Lokal Legal” sebagai Proteksi Kultural. Negara ini rajin membuat label halal, organik, dan bebas gula, tapi tak pernah terpikir membuat label “Rokok Lokal Legal”.

Padahal ini bukan hanya soal dagang, tapi soal identitas budaya. Yang kalah bukan kualitasnya, tapi akses dan pengakuannya.

Buat Kebijakan, Jangan Cuma Buat Operasi Tangkap. Negara ini terlalu sering meniru gaya kolonial: menindak pedagang, dan membiarkan pemilik mesin dan gudang.

Padahal yang dibutuhkan bukan lagi palu emas yang mahal tapi tak tepat sasaran, melainkan rasa empati dan desain kebijakan yang mendengar suara dapur rakyat.

Razia boleh jalan. Tapi buatkan jembatan legal bagi yang mau taat. Sosialisasi bukan cuma soal spanduk, tapi soal pendampingan nyata.

Kalau tidak, jangan heran bila rakyat kecil mulai memproduksi amarah yang tak bisa dicukaikan. Sebab jika petani kehilangan harapan, dan pengusaha kecil tak diberi tempat, maka negeri ini akan dipenuhi asap.

Bukan dari rokok ilegal, tapi dari amarah rakyat yang dapurnya dibakar oleh kebijakan yang tuli.

Baca juga:  Langkah Kecil Mehdi di Tanah Ulama

Catatan untuk Pak Letjen dan Para Pejabat di Jakarta: Jangan hanya melihat asap dari batang rokok ilegal. Lihat juga api kemiskinan yang menyalak di bawahnya.

Kalau negara ingin dihormati, maka berhentilah mencurigai rakyat miskin sebagai kriminal. Mereka bukan musuh hukum. Mereka hanya korban dari sistem yang terlalu lama berpihak pada pabrik besar dan pemilik izin. (*)

*Penulis adalah Fauzi As, pengamat kebijakan publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *