NasionalSerba-serbi

Refleksi Idul Adha: Kerja Mengikhlaskan yang Tak Pernah Rampung

×

Refleksi Idul Adha: Kerja Mengikhlaskan yang Tak Pernah Rampung

Sebarkan artikel ini
Koordinator Nasional HAM-I, Asip Irama.

Sudah tiga hari berlalu sejak kita merayakan Idul Adha, hari yang penuh makna dan pengorbanan. Meski kegembiraan dan semarak perayaan mulai mereda, saya masih merasakan gema dari pesan penting yang disampaikan lewat hari besar ini. Momen ini mengajak saya untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam diri, dan merenungkan kembali apa sebenarnya makna Idul Adha dalam kehidupan sehari-hari kita.

Bagi banyak orang, Idul Adha seringkali hanya identik dengan ritual penyembelihan hewan kurban dan pembagian daging kepada yang membutuhkan. Namun, saya percaya pesan terdalam dari Idul Adha jauh lebih dari itu. Ia adalah pelajaran tentang pengorbanan dan keikhlasan, dua hal yang tidak mudah untuk dipahami dan dijalani, apalagi di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tuntutan.

Kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, selalu menjadi pusat perhatian saat Idul Adha tiba. Kita mengenang bagaimana Ibrahim diperintahkan Allah untuk mengorbankan anak yang sangat dicintainya sebagai bentuk ketaatan yang mutlak. Kisah ini bukan hanya cerita sejarah yang kita dengar setiap tahun, melainkan cermin bagi kita untuk menilai sejauh mana kita mampu melepaskan sesuatu yang kita cintai demi sesuatu yang lebih besar dan mulia.

Saya sering bertanya pada diri sendiri: Apa yang selama ini saya genggam terlalu erat sehingga sulit untuk saya lepaskan? Apakah saya sudah benar-benar siap untuk menyerahkan hal-hal yang saya anggap berharga demi ketaatan dan keikhlasan? Dalam dunia yang penuh dengan genggaman dan keinginan mempertahankan, kehilangan seringkali dianggap sebagai kegagalan. Kita takut untuk melepaskan, takut kehilangan, dan bahkan takut untuk ikhlas tanpa pamrih.

Keikhlasan, menurut saya, bukanlah sebuah titik akhir yang bisa kita capai dengan mudah. Ia adalah sebuah proses yang terus berulang dan tidak pernah selesai. Kadang kita merasa sudah ikhlas, namun esoknya godaan untuk mengungkit kembali muncul. Kadang kita rela melepaskan sesuatu, tapi diam-diam berharap balasan yang setimpal. Inilah seni mengikhlaskan yang terus kita pelajari sepanjang hidup. Ia bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis—datang dan pergi seperti musim yang silih berganti.

Selain itu, Idul Adha juga mengingatkan kita pada tanggung jawab sosial yang tidak boleh kita lupakan. Kurban bukan hanya soal ritual keagamaan, tapi juga soal keadilan dan empati sosial. Apakah daging kurban yang kita bagikan benar-benar sampai kepada mereka yang paling membutuhkan? Ataukah hanya menjadi simbol yang dipamerkan di hadapan orang lain? Ini adalah pertanyaan yang harus kita jawab dengan jujur.

Saya menyadari bahwa seringkali kurban hanya berpindah dari orang yang mampu ke orang yang agak kurang mampu, sementara mereka yang benar-benar lapar dan terpinggirkan masih terabaikan. Ini bukan hanya soal materi, tapi soal keberpihakan. Saat kita menyembelih hewan kurban, seharusnya kita juga menyembelih rasa angkuh dan egoisme dalam diri kita. Kita harus berani berbagi lebih dari sekadar materi—berbagi perhatian, empati, dan keberanian untuk bersuara bagi mereka yang tidak memiliki suara.

Momen H+3 Idul Adha ini saya gunakan untuk bertanya pada diri sendiri: Apa yang selama ini saya genggam terlalu keras? Apa yang mestinya saya lepaskan, tapi belum sanggup? Siapa yang selama ini saya abaikan meskipun saya tahu mereka membutuhkan uluran tangan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dan mungkin jawabannya tidak datang secara instan. Namun, saya percaya bahwa dengan terus bertanya dan merenung, kita bisa semakin dekat dengan keikhlasan yang sejati.

Saya juga belajar bahwa Idul Adha bukan hanya soal siapa yang memberi paling banyak, melainkan tentang siapa yang paling jujur dalam melepaskan. Bukan tentang siapa yang terlihat paling saleh, tapi tentang siapa yang diam-diam belajar menjadi manusia yang lebih lapang dan rendah hati. Keikhlasan tidak selalu harus disuarakan, karena ia adalah kerja batin yang sunyi dan dalam.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya menyadari bahwa melepaskan bukan berarti menyerah atau kalah, melainkan sebuah bentuk keberanian dan kedewasaan. Melepaskan sesuatu yang kita cintai demi sesuatu yang lebih besar adalah bentuk cinta yang paling tulus. Cinta yang dipasrahkan sepenuhnya kepada Tuhan tidak selalu butuh akhir yang bahagia menurut ukuran dunia, kadang cinta justru tumbuh dari kehilangan yang diterima tanpa syarat.

Idul Adha juga mengajarkan kita tentang pentingnya menempatkan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sebagai pusat kehidupan. Dalam dunia yang serba individualistis ini, mudah sekali terjebak dalam ego dan kepentingan pribadi. Namun, melalui kisah Ibrahim dan Ismail, kita diajak untuk melihat bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang layak untuk dicintai dan diutamakan—yakni ketaatan kepada Tuhan dan kepedulian terhadap sesama.

Saya berharap refleksi ini tidak berhenti hanya di tulisan ini saja. Semoga setiap kita bisa terus belajar menjadi pribadi yang lebih lapang, lebih ikhlas, dan lebih peduli. Semoga semangat pengorbanan dan keikhlasan yang diajarkan oleh Idul Adha terus mengalir dalam setiap langkah kita, tidak hanya saat hari raya, tapi dalam kehidupan sehari-hari.

Akhir kata, saya ingin mengajak kita semua untuk menjadikan Idul Adha sebagai cermin bagi diri kita masing-masing. Cermin yang membantu kita melihat sejauh mana kita siap kehilangan demi menemukan makna hidup yang lebih dalam. Mari kita terus belajar seni mengikhlaskan yang tak pernah rampung ini, karena di sanalah letak kemuliaan dan kedewasaan seorang manusia.

Selamat menjalani hari-hari setelah Idul Adha. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk melepaskan, bukan hanya menyembelih. (*)

*Penulis adalah Asip Irama, Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAM-I)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *