Penulis adalah Kurniawan Zulkarnain, Ketum HMI Cabang Ciputat 1978–1979.
Salah satu upaya untuk mengatasi anak-anak nakal—yaitu anak yang suka tawuran, bolos sekolah, melawan orang tua, meminum minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan ugal-ugalan naik motor—adalah dengan cara sekolah dan pemerintah daerah mengirim mereka ke barak militer untuk dibangun kedisiplinannya, membentuk karakter, dan menanamkan tanggung jawab sosial. Model ini diprakarsai oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat.
Prakarsa KDM ini telah mengundang pro dan kontra di masyarakat. Yang pro menyarankan untuk direplikasi, sementara yang kontra—terutama dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan sejumlah pengamat seperti Rocky Gerung—meragukan efektivitasnya. Alih-alih dilatih model militer, pendekatan seperti ini dapat menimbulkan trauma bila tidak disertai pendekatan emosional dan psikologis.
Sejatinya, pembinaan karakter telah dilakukan selama puluhan tahun oleh lembaga pendidikan Islam yang bernama Pondok Pesantren. Puluhan ribu Pondok Pesantren, baik yang tradisional (salafiah) maupun modern (Islamic Boarding School), tersebar di seluruh Indonesia.
Sekilas tentang Pondok Pesantren
Pondok Pesantren merupakan model pendidikan Islam tradisional yang tumbuh dan berkembang seiring dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi. Lembaga ini merupakan adaptasi lokal dari sistem pendidikan Islam yang lebih luas seperti zawiyah (di Afrika Utara) dan madrasah (di Timur Tengah), yang disesuaikan dengan budaya dan masyarakat lokal.
Pada abad ke-18–19 M, terbangun pesantren-pesantren besar seperti Pondok Pesantren Tegalsari (Ponorogo), Lirboyo (Kediri), dan Sidogiri (Pasuruan). Pesantren menjadi basis utama dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda, seperti dalam Perang Diponegoro dan perlawanan di Aceh.
Pasca-kemerdekaan dan masa Orde Baru, sejumlah pesantren mulai bertransformasi dengan mengenalkan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum), bahkan ada yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Pada masa Orde Baru, banyak pesantren diakui sebagai lembaga pendidikan dan mendapatkan bantuan, namun tetap menjaga otonominya.
Pada era Reformasi, Pondok Pesantren mengalami diversifikasi: ada pesantren salaf (tradisional), khalaf (modern), dan campuran keduanya. Fokus pesantren diperluas, selain ilmu agama juga pelatihan kewirausahaan, teknologi, keterampilan, moderasi beragama, dan pemberdayaan masyarakat.
Eksistensi Pondok Pesantren semakin kuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pondok Pesantren. Menurut UU ini, definisi Pondok Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Menurut data Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2024/2025, terdapat 42.433 Pondok Pesantren yang tersebar di Nusantara. Antara lain di Jawa Barat (13.005), Jawa Timur (7.347), Banten (6.776), Jawa Tengah (5.364), dan Aceh (1.925). Sementara provinsi lainnya memiliki ratusan hingga puluhan pondok pesantren.
Pembinaan Karakter di Pondok Pesantren
Seluruh kegiatan di Pondok Pesantren pada hakikatnya adalah untuk membentuk karakter santri yang religius, berilmu, dan berakhlak. Bahkan interaksi antara santri dengan kiai/pimpinan pondok dan para ustaz juga merupakan bagian dari pembentukan karakter tawadhu’, yaitu hormat pada mereka yang dituakan.
Kegiatan sehari-hari umumnya terstruktur untuk membangun pembiasaan disiplin. Sebagai gambaran umum, rutinitas harian di banyak pondok pesantren di Indonesia diuraikan sebagai berikut:
Pagi hari dimulai dengan bangun tidur dan persiapan ibadah. Salat Subuh berjamaah dilanjutkan zikir pagi, tadarus Al-Qur’an, atau pengajian kitab kuning. Kemudian mandi, sarapan, dan persiapan sekolah formal.
Setelah kegiatan sekolah, pada siang harinya dilakukan salat Zuhur berjamaah, dilanjutkan makan siang dan istirahat. Terdapat kegiatan belajar tambahan, hafalan, atau pengajian kitab.
Sore hari, para santri melakukan salat Asar berjamaah, dilanjutkan dengan olahraga, kerja bakti, atau kegiatan ekstrakurikuler. Sore menjelang malam, mereka salat Magrib berjamaah, tadarus, atau pengajian Al-Qur’an. Setelah itu, salat Isya berjamaah, makan malam, dilanjutkan belajar malam, hafalan, atau pengajian kitab kuning. Diakhiri dengan persiapan tidur, muhasabah, dan doa bersama.
Pada beberapa pondok pesantren juga dilakukan kegiatan seperti tur bersama, pertandingan antar kelas bahkan antar sekolah. Juga ikut dalam lomba cerdas tangkas matematika, fisika, pidato, dan lomba lainnya termasuk Musabaqah Tilawatil Qur’an.
Kegiatan yang padat ini telah membangun kebiasaan para santri, yang pada ujungnya membentuk karakter dan kecerdasan mereka. Sejumlah pondok pesantren telah mengantarkan santrinya ke jenjang perguruan tinggi seperti ITB, UGM, ITS, Unpad, dan UI, bahkan ke universitas di mancanegara.
Alumni Pondok Pesantren, dalam hal ini Gontor, telah melahirkan tokoh-tokoh berkarakter yang menjadi role model. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Nurcholish Madjid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, dan Hidayat Nur Wahid. Tentu saja pondok pesantren lainnya juga memiliki tokoh-tokohnya masing-masing, seperti Ponpes Tebuireng yang melahirkan KH Abdurrahman Wahid dan Ponpes Citangkil–Banten yang melahirkan KH Ma’ruf Amin.
Kolaborasi dengan Pondok Pesantren
Pembinaan anak nakal di barak militer yang diprakarsai [KDM] perlu diapresiasi. Agar gagasan ini secara substantif dapat berlanjut (sustain) dan bermanfaat bagi masyarakat, ada baiknya program ini dilanjutkan melalui kolaborasi dengan Pondok Pesantren yang tupoksi-nya memang membina karakter anak-anak.
Anak menjadi nakal banyak penyebabnya. Antara lain karena kurangnya perhatian; anak merasa diabaikan sehingga mencari perhatian melalui perilaku negatif. Orang tua terlalu sibuk atau tidak hadir secara emosional. Anak juga bisa nakal karena pola asuh yang keliru, yaitu terlalu keras (otoriter) atau terlalu bebas (permisif).
Selanjutnya, anak menjadi nakal karena faktor lingkungan sosial yang tidak kondusif, seperti konsumsi narkoba, tawuran, dan kriminalitas. Kurangnya figur panutan yang dapat diteladani (guru, tokoh agama/masyarakat, orang tua). Anak juga menjadi nakal karena pengaruh media dan dunia digital, berupa konten kekerasan, gaya hidup bebas, dan budaya pamer.
Model kolaborasi untuk membina anak nakal dengan Pondok Pesantren dapat dilakukan dengan menyelenggarakan program khusus semacam diklat dengan durasi 3 atau 4 minggu. Program ini dapat didukung oleh anggaran pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Kolaborasi dengan ponpes memungkinkan anak memperoleh tokoh panutan dan siraman kasih sayang dari kiai/pimpinan pondok. Anak dapat bersosialisasi dengan komunitas ponpes, terutama para santri. Selanjutnya, kolaborasi dapat membangun kebersamaan antara Pemda dengan ponpes dan masyarakat.
Materi program khusus dapat disusun secara partisipatif antar para pihak: ponpes, Pemda, asal sekolah anak, dan juga TNI bila dipandang perlu. Dengan kolaborasi, memungkinkan para pihak kembali ke tupoksi-nya. Biarlah TNI yang kita sayangi memperkuat kapasitasnya sebagai kekuatan pertahanan.