HukumNasional

Menjelang 1 Juli: Trunojoyo dan Para Jenderal yang Menunggu

×

Menjelang 1 Juli: Trunojoyo dan Para Jenderal yang Menunggu

Sebarkan artikel ini
Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAM-I), Asip Irama.

Juli belum genap tiba, tapi denyut di Jalan Trunojoyo terasa lebih cepat dari biasanya. Udara di markas besar Kepolisian itu membawa aroma campuran antara euforia ulang tahun dan kecemasan suksesi. Di antara ucapan selamat Hari Bhayangkara ke-79 yang mulai merangkak dari baliho ke meja rapat, terselip pula bisik-bisik soal siapa yang akan duduk di kursi tertinggi itu: Kapolri. Sebuah posisi yang di atas kertas merupakan pucuk komando institusi hukum, tapi dalam kenyataannya tak pernah steril dari tafsir politik kekuasaan.

Menjelang Juli, institusi yang dahulu bernama Djawatan Kepolisian ini seperti menatap cermin yang buram. Usianya hampir menyentuh delapan dekade, tetapi dalam usia tuanya justru ia tampak gelisah. Tak semua jenderal pulang ke Trunojoyo. Sebagian hanya memutari lorongnya, menanti aba-aba politik, menimbang restu, menahan ambisi yang tak kunjung diizinkan mewujud.

Suksesi Kapolri sering dibungkus sebagai proses administratif: presiden memilih dari nama-nama yang diusulkan, lalu DPR memberikan persetujuan yang cenderung seremonial. Namun siapa pun yang mengenal denyut lembaga ini tahu: tidak ada yang administratif dalam soal kekuasaan.

Polri bukan hanya penegak hukum, ia juga alat kendali. Sejak dipisahkan dari ABRI pasca-Reformasi, Polri ditempatkan langsung di bawah presiden sipil. Tetapi wajah gandanya tetap melekat: satu menatap rakyat, satu lagi menoleh ke Istana. Setiap pergantian Kapolri tak pernah hanya bicara regenerasi, tetapi selalu menyisakan jejak tafsir: hukum untuk siapa, dan kuasa oleh siapa?

Menjelang ulang tahun ke-79, Polri kembali berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri. Dan Presiden Prabowo Subianto akan segera mencatat keputusan awal yang akan terbaca jauh ke dalam tubuh institusi itu: akankah ia memilih meneruskan pola Jokowi, atau membuka ruang baru bagi wajah-wajah yang lebih segar?

Ada satu simbol yang lama dianggap suci dalam tradisi kepolisian: Adimakayasa. Sebuah gelar bagi lulusan terbaik Akademi Kepolisian. Ia bukan hanya simbol prestasi, melainkan juga lambang meritokrasi, teladan, bahkan mitologi moral internal. Dalam banyak era, Adimakayasa adalah yang “pantas” menjadi pemimpin, bukan sekadar karena nilainya, tapi karena ia dipercaya membawa marwah institusi.

Namun beberapa tahun terakhir, nama-nama yang duduk di kursi Kapolri tak selalu datang dari tradisi itu. Tafsir lama bergeser. Pengangkatan didasarkan lebih pada loyalitas dan kedekatan, bukan rekam integritas. Dan ini menimbulkan keresahan di tubuh kepolisian: apakah masih ada ruang bagi nilai, atau hanya bagi strategi dan kompromi?

Presiden Prabowo, yang berlatar militer, tentu memahami pentingnya sistem komando, keteladanan, dan simbol kehormatan. Ia bisa saja menunjuk jenderal yang dekat secara politik, tetapi jika ia ingin memberi pesan bahwa hukum akan menjadi wajah utama pemerintahannya—maka pemilihan Kapolri akan menjadi isyarat paling awal dan paling terang.

Trunojoyo bukan sekadar jalan, ia adalah ruang simbolik. Di sana sejarah kepolisian ditulis, dipelintir, dan kadang dikhianati. Di sana pula, wajah-wajah hukum negeri ini ditentukan—entah akan tegak atau kembali tunduk. Maka setiap kali Kapolri berganti, publik selalu bertanya: akankah hukum kembali dijaga, atau malah dilayani?

Ulang tahun Polri seharusnya tak hanya menjadi ritual seremonial. Ia semestinya menjadi ruang tafsir dan perenungan: untuk siapa senjata itu dipanggul? Untuk siapa hukum itu ditegakkan? Dan lebih dalam lagi: masih adakah keberanian di tubuh Polri untuk mengatakan “tidak” pada kuasa yang menyimpang?

Jenderal-jenderal yang tak pulang bukan semata-mata soal karier yang kandas. Mereka adalah bayangan dari sistem yang menolak meritokrasi. Mereka adalah saksi bisu dari institusi yang kadang kehilangan keberanian untuk menjadi independen. Mereka adalah narasi yang tertinggal di lorong-lorong Trunojoyo—diam, tapi tak hilang.

Presiden Prabowo berada di titik krusial. Ia bisa menciptakan jarak dari rezim sebelumnya, membentuk wajah hukum yang baru. Atau ia bisa memilih jalan yang sama: loyalitas sebagai syarat, bukan kelayakan. Apa pun pilihannya, publik akan membaca isyaratnya.

Kita tentu tak naif. Hukum di negeri ini kerap menjelma alat. Ia lentur tergantung siapa pemegang palunya. Tetapi selalu ada harapan, sekecil apa pun, bahwa di tengah kelengangan hukum, akan lahir satu keputusan berani yang berpihak pada marwah, bukan semata pada kekuasaan.

Juli akan tetap datang. Spanduk ulang tahun akan tetap digelar. Upacara akan tetap berlangsung. Tetapi rakyat, yang setiap hari berhadapan dengan wajah hukum—di jalanan, di kantor polisi, di ruang sidang—akan terus bertanya: siapa yang akan berdiri menjaga hukum, dan siapa yang akan merunduk di hadapan kuasa?

Polri tidak akan bubar. Tapi ia bisa kehilangan jiwanya. Dan menjelang 1 Juli ini, semoga masih ada satu cermin yang jernih di Trunojoyo—tempat di mana para jenderal yang menunggu itu pernah menggantungkan idealismenya, sebelum ia dikalahkan oleh politik yang terlalu sunyi untuk disebut pengkhianatan. (*)

*Penulis adalah Asip Irama, Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAM-I).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *