Penulis adalah Fauzi As, pengamat kebijakan publik.
Kita patut bertanya-tanya, sejak kapan Komisaris Utama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi corong klarifikasi politik?
Apakah tugas utama Komisaris Petrogas Jatim Sumekar (PJS) seperti Bambang Supratman sekarang sudah bergeser? Bukankah tugasnya mengawasi kinerja korporasi, bukan menjadi juru selamat elektabilitas bupati?
Di tengah derasnya kritik terhadap survei yang menyebut 80,4 persen warga Sumenep tak puas pada 100 hari pemerintahan Fauzi – Imam, muncullah suara lantang dari seorang petinggi BUMD.
Aneh bin ajaib, bukan dari pihak Humas Pemda, bukan dari jubir resmi partai, melainkan dari seorang Komut yang seharusnya menjaga independensi korporasi daerah.
Alih-alih diam dan fokus pada profitabilitas perusahaan daerah yang diawasi, ia malah menyerang kredibilitas survei.
Pertanyaannya sederhana: Apa urusan BUMD dengan opini publik terhadap bupati?
Apakah BUMD kini punya divisi khusus untuk menakar sentimen warga?
Atau, jangan-jangan Petrogas selama ini hanya jadi tabir asap untuk posisi politis dan agenda kekuasaan?
Jika Bambang risih pada angka 80,4 persen, mungkinkah rakyat nanti malah mensurvei posisi duduknya sendiri di kursi Komisaris?
Sebab posisi itu bukan jabatan suci yang bebas dari pertanggungjawaban. Publik bisa saja bertanya: apa manfaat keberadaan Komut Petrogas bagi rakyat Sumenep?
Apakah ada transparansi laba?
Apakah ada akuntabilitas publik?
Atau selama ini hanya nama dan gaji yang bersinar, sementara tanggung jawabnya gelap gulita?
Kritik terhadap metodologi survei tentu sah. Tapi ketika kritik itu datang dari seseorang yang tidak berposisi netral secara institusional, justru publik makin curiga.
Kita bukan sedang menonton debat akademik di kampus, kita sedang melihat seorang pejabat BUMD yang seolah menjadi LSM dadakan: Lembaga Solidaritas Menjilat?
Artikel yang membela pemerintah dengan menyerang survei itu menyebut tidak ada CV lembaga, tidak ada margin of error, tidak ada metodologi.
Tapi mari kita balik logika itu: apakah pemerintah dan para pejabatnya hari ini bekerja dengan indikator kinerja yang jelas, terbuka, dan terukur pula?
Sudahkah laporan PJS dibuka ke publik? Atau justru semua lembaga hari ini alergi pada transparansi kecuali saat menyanggah kritik?
Aneh rasanya, mereka ribut soal ilmiah atau tidaknya survei, padahal tiap hari membuat kebijakan tanpa evaluasi yang jelas. Mereka sebut angka 80,4 persen bombastis, tapi tak merasa risih saat mengklaim keberhasilan tanpa data.
Ketika kritik datang, langsung diseret ke sudut dengan tuduhan “agenda politik”. mengaitkan media rilpolitik dengan oposisi. Padahal kritik publik bukan kriminal.
Kritik bukan makar. Dan survei, seburuk apapun metodenya, adalah cermin kejujuran rakyat.
Bambang Supratman mestinya tahu posisi. Ia bukan juru kampanye, bukan pengacara bupati, dan bukan panglima propaganda.
Ia Komisaris Utama yang mestinya sibuk mengawasi kinerja bisnis, bukan menyibukkan diri membela penguasa.
Jika terlalu aktif membantah suara rakyat, jangan salahkan jika rakyat mulai bertanya.
Apakah Bambang sebagai Komut memiliki keahlian yang relevan di PJS? Apa dia memahami penyelenggaraan pemerintahan daerah dan bidang usaha BUMD?
Atau Komut yang bertugas menjalankan misi tambahan?
Kami juga tidak anti kritik terhadap survei. Tapi kami juga berhak mengkritik balik. Jangan gunakan jabatan publik untuk kepentingan pribadi atau kedekatan politis.
Jangan jadikan BUMD sebagai Batalion Untuk Membela Dosa.
Dan terakhir, jika survei rakyat dianggap tidak layak dipercaya, mari buka alternatifnya. Izinkan rakyat mensurvei BUMD dan posisi Anda. Meski saya curiga bahwa tulisan Bambang dibuat oleh orang di sebelahnya laki-laki dengan jaket yang sama.
Mari ukur seberapa besar kepercayaan warga terhadap mereka yang hari ini sibuk membantah daripada bekerja.
Di negara demokrasi, suara rakyat bukan untuk disanggah, tapi didengar. Apalagi oleh mereka yang gajinya diambil dari kantong rakyat pula.