Rilpolitik.com, Jakarta – Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Anas Urbaningrum menilai usulan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengembalikan pemilihan presiden ke Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) sebagai sebuah kemunduran berpikir.
Menurut Anas, pembatasan masa jabatan presiden dan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat sudah tepat dan tak perlu diubah.
“Pembatasan masa jabatan Presiden dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat adalah hasil reformasi politik yang sudah tepat dan layak dipertahankan,” kata Anas melalui akun Twitternya, @anasurbaningrum pada Jumat (18/8/2023).
Ia mengatakan, tak ada urgensinya mengembalikan kewenangan MPR RI menjadi lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih dan melantik presiden.
“Sama sekali tidak ada urgensi untuk kembali dipilih oleh MPR,” ujar Anas.
Ia menyebut usulan tersebut sebagai kemunduran berpikir. “Usul dari DPD ini adalah kemunduran berpikir,” tukasnya.
Diketahui, LaNyalla Mattalitti bicara soal proposal kenegaraan, yakni menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara lagi dan berhak memilih serta melantik presiden. LaNyalla mengatakan pemilu justru melahirkan politik kosmetik yang mahal.
Hal ini disampaikan LaNyalla dalam sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR/DPD RI tahun 2023 di gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
LaNyalla mulanya menyinggung keputusan Sidang Paripurna DPD RI tanggal 14 Juli 2023, yang salah satunya mengusulkan mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dia mengajak berbagai pihak menghentikan kontestasi politik yang menurutnya diraih dengan cara liberal.
“Mari kita hentikan kontestasi politik yang semata-mata ingin sukses meraih kekuasaan dengan cara liberal. Karena telah menjadikan kehidupan bangsa kita kehilangan kehormatan, etika, rasa dan jiwa nasionalisme serta patriotisme,” kata LaNyalla.
Menurut LaNyalla, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat malah melahirkan politik kosmetik yang mahal. Dia menilai proses pemilihan pemimpin sekadar bermodalkan popularitas.
“Pemilihan Presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal dan merusak kohesi bangsa. Karena batu uji yang kita jalankan dalam mencari pemimpin nasional adalah popularitas yang bisa difabrikasi,” ujarnya.
LaNyalla lalu menyinggung elektabilitas bakal calon presiden (bacapres) potensial yang menurutnya menggiring publik melalui angka-angka. Dia mengkritik proses pilpres karena rakyat disodorkan realitas politik yang telah didesain.
“Begitu pula dengan elektabilitas yang bisa digiring melalui angka-angka. Lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa,” katanya.
(Abn)