Penulis adalah Watir Pradhika, Pendiri Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI)
Di antara wajah-wajah pemimpin daerah yang lahir dari rahim politik dinasti atau karier birokrasi yang panjang, nama H. Slamet Junaidi menempati ruang yang berbeda. Ia bukan berasal dari keluarga politikus. Ia bukan pula produk dari jalur elite pemerintahan. Ia adalah anak kampung dari Sampang yang lahir dan tumbuh bersama kesederhanaan dan kerasnya hidup, lalu membentuk dirinya di tanah rantau.
Kini, ia kembali sebagai pemimpin, membawa bukan hanya nama besar, tapi tekad yang dibentuk oleh pengalaman nyata hidup dari bawah. Sebuah jejak seorang putra daerah yang merantau, mendaki tangga sukses sebagai pengusaha dan politisi, lalu memilih pulang untuk membangun kampung halamannya: Kabupaten Sampang, Madura.
Orang-orang memanggilnya Aba Idi. Lahir pada 17 Agustus 1972, di Desa Nyeloh, Kecamatan Kedungdung, hidupnya sejak kecil sudah akrab dengan perjuangan. Ayahnya hanyalah orang biasa, dan ketika roda ekonomi keluarga goyah, ia tahu bahwa tinggal diam bukan pilihan.
Pada 1988, ia meninggalkan Madura menuju Jakarta, sebelum akhirnya menetap di Bogor, Jawa Barat, pada 1991. Di sanalah ia merintis segalanya dari nol. Usaha besi tua yang ia geluti bukan dunia yang bersih dan nyaman, tapi ia bertahan. Bekerja keras, jatuh, bangun, dan berdiri lagi.
Di dunia besi tua dan logam bekas, ia bukan sekadar ikut-ikutan dagang; ia mendalami, menyelami, memimpin, hingga akhirnya menjadi Direktur Utama PT. Slamet Mandiri. Tidak heran jika kemudian ia dikenal sebagai pengusaha ulet yang mandiri dan berani mengambil risiko.
Namun meski sukses di rantau, pikirannya tak pernah benar-benar lepas dari aroma asin laut Madura dan jejak tanah liat desa tempat ia dilahirkan. Di tengah kesibukan mengelola usaha dan membesarkan keluarga di Bogor, hatinya tetap tertambat pada Sampang. Ia tidak menjadi orang yang lupa asal-usul. Justru sebaliknya, ia menjadikan identitas ke-Madura-annya sebagai kebanggaan dan landasan pengabdiannya.
Karena itulah ia aktif membangun solidaritas sesama perantau, memimpin berbagai kegiatan sosial dan budaya, hingga dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Madura di Bogor pada 1996. Dari posisi ini, ia tak hanya menjadi penghubung antarwarga, tapi juga menjadi penjaga nilai, sekaligus penyambung aspirasi daerah ke luar wilayah.
Di titik itulah kesadaran mulai tumbuh dalam dirinya: bahwa memperjuangkan kepentingan orang banyak tak cukup hanya dengan berdiri di luar pagar kekuasaan. Tepat di tahun 2013, Aba Idi mengambil keputusan besar masuk ke gelanggang politik. Pilihannya jatuh pada Partai NasDem, partai yang menurutnya memberi ruang untuk idealisme dan perubahan.
Dari Senayan ke Pendapa
Tahun 2014 menjadi titik balik, saat ia maju sebagai calon anggota DPR RI dan berhasil terpilih. Lima tahun di Senayan menjadi fase pembelajaran intens: ia menyelami dunia kebijakan, memahami seluk-beluk anggaran negara, serta menyaksikan langsung bagaimana sistem pemerintahan bekerja dari dalam.
Namun kegelisahan perantau tak mudah padam. Ada suara dalam hatinya yang terus memanggil pulang. Saat banyak orang memilih menjauh dari persoalan daerah, ia justru mendekatinya.
Bagi Aba Idi, pulang bukan sekadar kembali secara fisik, tapi juga kembali untuk memperbaiki. Maka pada Pilkada Sampang 2018, ia memutuskan maju sebagai calon Bupati—sebuah langkah yang tak sedikit orang anggap nekat.
Apa yang bisa dilakukan oleh orang rantau untuk daerah yang penuh persoalan klasik? Jalan rusak, kemiskinan, banjir musiman, pendidikan yang tertinggal, pelayanan kesehatan yang terbatas—semuanya seperti tembok tinggi yang sulit ditembus.
Tapi Aba Idi datang bukan dengan janji kosong, melainkan dengan visi dan pengalaman. Ia membuktikan bahwa pemimpin bukan ditentukan oleh asal, melainkan oleh niat dan keberanian membawa perubahan nyata.
Begitu resmi menjabat pada 2019, ia tak sekadar mengambil alih kursi kekuasaan—ia membawa serta visi besar yang menjadi kompas perubahan: “Sampang Hebat Bermartabat.”
Visi ini bukan sebatas slogan politik, melainkan ikrar moral untuk mengangkat martabat warga dengan pembangunan yang menyentuh akar persoalan. Ia paham, membangun daerah tak cukup hanya dengan beton dan aspal, tapi juga butuh sistem yang efisien dan manusia yang berdaya.
Menata Sampang
Lima tahun berjalan, perlahan tapi pasti, wajah Sampang berubah. Aba Idi tidak datang hanya dengan membawa janji kosong. Ia datang dengan tekad besar: mengubah wajah Sampang, dari daerah pinggiran yang kerap luput dari sorotan, menjadi kabupaten yang hebat dan bermartabat. Dan lima tahun berselang, janji itu menjelma dalam deretan capaian yang nyata dan dirasakan masyarakat.
Keluhan warga tak lagi tenggelam di ruang-ruang rapat, sebab layanan publik mulai dibuka dengan sentuhan teknologi: dari administrasi kependudukan, perizinan usaha, hingga pengaduan masyarakat kini dapat diakses secara cepat dan transparan. Digitalisasi menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyatnya.
Salah satu tonggak penting adalah penurunan angka kemiskinan ekstrem yang mencolok. Dari 7,35% pada tahun 2020—di atas rata-rata nasional dan provinsi—turun tajam menjadi 4,01% pada 2021, dan hanya tinggal 1,78% di tahun 2022. Sebuah capaian yang bukan hasil kebetulan, tapi buah dari kerja sistematis dalam memeratakan pembangunan ekonomi, termasuk lewat program Pantura Agrowisata Sampang dan Wisata Terintegrasi Wilayah Selatan, yang diperkuat infrastruktur jalan dan fasilitas pendukung lainnya.
Di bidang pendidikan, Aba Idi menjamin hak generasi muda untuk tumbuh melalui beasiswa yang telah dinikmati oleh 172 pelajar. Ia juga memperkuat fondasi SDM melalui pelatihan dan pembekalan keahlian bagi 954 warga, membekali mereka bukan hanya dengan ilmu, tapi juga harapan.
Kepeduliannya terhadap guru pun tak setengah-setengah—insentif diberikan kepada lebih dari 9.000 tenaga pendidikan dan keagamaan, termasuk guru ngaji, guru PAUD non-ASN, GTT, penjaga sekolah, dan marbot masjid.
Tak kalah penting adalah sektor kesehatan. Melalui program Universal Health Coverage (UHC), layanan pengobatan gratis dinikmati seluruh warga tanpa sekat status. Penurunan angka stunting menjadi salah satu prestasi paling mencolok: dari 47,9% pada 2018 turun menjadi hanya 6,9% di 2022—sebuah lompatan dramatis dalam waktu singkat.
Upaya ini diperkuat dengan relokasi RSUD Sampang sebagai rumah sakit rujukan Madura serta peningkatan status BLUD untuk Puskesmas dan RS, memberikan ruang gerak yang lebih fleksibel dan strategis dalam manajemen layanan kesehatan.
Di ranah tata kelola pemerintahan, Aba Idi menorehkan prestasi langka: opini WTP dari BPK selama lima tahun berturut-turut. Sampang juga terpilih sebagai salah satu dari 50 kabupaten/kota pelaksana Smart City, dan memiliki indeks SPBE tertinggi di Madura (3,57), menandakan bahwa birokrasi Sampang makin cerdas dan adaptif. Inovasi menjadi budaya baru: setiap OPD wajib berinovasi, dan buahnya adalah penghargaan IGA Award yang membanggakan.
Sampang pun makin terkoneksi. Jalan kabupaten sepanjang 118 km telah dibetonisasi, ditambah hotmix 58,6 km dan pembangunan 32 jembatan.
Infrastruktur strategis lain turut dibangun, mulai dari Jalan Lingkar Selatan, Alun-Alun Trunojoyo, Sport Center, perpustakaan empat lantai, hingga fasilitas pendidikan dan kesehatan. Bahkan, perluasan Jalan Lintas Selatan Madura (JLSM) ikut memperkuat konektivitas antardaerah.
Menutup Luka, Membangun Harmoni
Dari sekian capaian pembangunan fisik dan reformasi birokrasi, barangkali yang paling menyentuh dan meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah sosial Sampang adalah keberhasilan H. Slamet Junaidi meredam dan menyelesaikan konflik sosial antara kelompok Sunni dan Syiah—konflik yang telah membara sejak 2011, menyisakan luka kolektif dan ribuan hari pengungsian bagi warga Sampang sendiri.
Selama lebih dari satu dekade, puluhan warga Syiah asal Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, harus menjalani hidup sebagai pengungsi di rusunawa, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur. Upaya penyelesaian oleh pemerintah sebelumnya berjalan buntu. Isu ini menjadi duri dalam daging, penuh sensitivitas, rawan politisasi, dan dianggap terlalu rumit untuk disentuh.
Namun, di tengah keraguan banyak pihak, Aba Idi memilih langkah berbeda. Ia membangun komunikasi, dialog-dialog tertutup dan terbuka, merangkul tokoh-tokoh ulama karismatik Madura, berkoordinasi intensif dengan Kementerian Agama, Kemenko PMK, hingga BNPT. Tak hanya berbicara dengan elite, Aba Idi juga menurunkan tim yang bekerja senyap di lapangan untuk memetakan kerawanan, membangun jembatan empati, dan mencari ruang rekonsiliasi yang realistis.
Keputusan politik terbesarnya adalah membuka pintu pulang bagi para pengungsi Syiah. Namun, kepulangan itu bukan sekadar logistik atau administrasi, melainkan proses membangun kembali rasa aman yang sempat tercerabut. Ia menyiapkan skema reintegrasi sosial dengan pendekatan budaya Madura yang khas—mengutamakan rasa hormat, dialog antar tokoh, serta rekonsiliasi dalam konteks lokal.
Dan akhirnya, sejarah mencatat: pada 2023, setelah 11 tahun terusir dari tanah kelahiran, satu per satu keluarga pengungsi Syiah kembali ke kampung halamannya. Tak ada pawai, tak ada gegap gempita. Tapi yang terjadi adalah peristiwa sosial yang langka—sebuah perdamaian yang tumbuh dari ketulusan, kesabaran, dan kepemimpinan yang berani mengambil risiko demi harmoni sosial.
Di sisi kemanusiaan lainnya, 30.000 anak yatim disantuni selama masa jabatannya—bukan sekadar program, tapi bentuk nyata dari keberpihakan seorang pemimpin kepada yang lemah.
Dalam lima tahun, Aba Idi tak hanya membangun Sampang. Ia memulihkan kepercayaan, menumbuhkan harapan, dan mengembalikan martabat.
Menumbuhkan Harapan
Tahun 2024, masyarakat kembali memberinya kepercayaan. Ia pun dilantik untuk periode kedua, kini dengan tambahan semangat dalam visinya: “Sampang Hebat Bermartabat Plus”. Plus yang dimaksud bukan sekadar tambahan simbolik, tapi cerminan bahwa Sampang tak lagi boleh tertinggal. Ia ingin Sampang berlari lebih kencang.
Di periode ini, fokusnya bergeser ke hal-hal strategis: peningkatan kualitas SDM, pembangunan ekonomi inklusif dan berkelanjutan, serta tata kota yang lebih ramah lingkungan. Ia mendorong investasi masuk dengan mempercepat proses perizinan, sekaligus menjaga agar pembangunan tetap berpihak pada masyarakat bawah.
Yang membuatnya berbeda adalah cara ia memimpin. Ia hadir langsung ke desa-desa, blusukan tanpa seremoni besar. Ia menegur ASN yang lambat bekerja. Ia tidak alergi dikritik, tapi juga tidak ragu bersikap tegas. Ia ingin birokrasi yang tidak hanya disiplin, tapi juga melayani dengan hati.
Kini, setelah enam tahun berjalan, masyarakat mulai merasakan bahwa Sampang punya arah. Memang belum semua masalah selesai. Tapi fondasi sudah diletakkan: transparansi, pelayanan yang membaik, akses yang terbuka, dan harapan yang hidup kembali. Aba Idi bukan pemimpin yang sempurna. Tapi ia datang dengan niat pulang yang tulus: untuk menanam, menyiram, dan menumbuhkan kampung halaman.
Jejaknya adalah jejak seorang perantau yang tak lupa asal, seorang pengusaha yang paham perhitungan, dan seorang pemimpin yang memilih turun ke tanah, bukan duduk di menara gading. Jika pun kelak sejarah menuliskannya, mungkin tak banyak narasi bombastis yang dibubuhkan. Tapi ada satu hal yang pasti: ia sudah membuktikan, bahwa pulang bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari pengabdian.