Oleh: Asip Irama
Direktur Eksekutif Indopublika
Di setiap zaman, selalu ada orang-orang yang mengajar tanpa pernah mengaku sebagai guru. Mereka tidak berdiri di depan kelas, tapi kehadirannya membuat banyak orang berpikir ulang tentang hidup, kekuasaan, dan masa depan bangsanya. Di Indonesia, sosok semacam itu selalu muncul dalam wujud yang tak terduga: bisa dari pesantren, ruang parlemen, hingga kampus yang belum banyak dikenal. Di antara mereka, kini muncul nama Sufmi Dasco Ahmad—seorang politisi senior yang pelan-pelan menempuh jalan seorang guru publik.
Istilah guru publik tidak lahir dari upacara atau SK resmi. Ia tumbuh dari pengakuan masyarakat terhadap seseorang yang menuntun arah pikir publik. Sosok semacam ini hidup di ruang antara pengetahuan dan kekuasaan, berusaha menjaga keseimbangan di tengah dua dunia yang sering bertabrakan. Dalam posisi itulah, Dasco menempuh peran barunya melalui Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI), sebuah kampus yang kini mulai menulis sejarahnya sendiri.
UKRI memang tidak sepopuler UI, ITB, atau UGM. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kampus ini bergerak dengan energi yang tidak biasa. Di bawah kepemimpinan Dasco, UKRI perlahan menanjak: akreditasinya meningkat dari “Baik” menjadi “Baik Sekali”; jumlah mahasiswanya naik signifikan menjadi 1.142 orang; hampir seluruhnya menerima beasiswa dan bantuan biaya hidup sebesar Rp7,2 juta per semester. Di negeri yang masih berjuang melawan ketimpangan pendidikan, capaian seperti itu adalah tanda kerja yang serius, bukan sekadar seremoni.
Puncaknya terjadi pada Sidang Senat Terbuka UKRI, 18 Oktober 2025, di mana Presiden Prabowo Subianto hadir langsung. Dalam forum itu, Dasco tak tampil sebagai pejabat negara yang berjarak, melainkan sebagai rektor yang berbicara tentang masa depan pengetahuan. Ia menekankan pentingnya kepemimpinan berintegritas, tentang kampus yang membangun manusia, bukan sekadar mencetak ijazah. Momen itu memperlihatkan sisi lain dari dirinya—bahwa politik, bila ditempatkan dalam ruang pendidikan, bisa menjadi alat peradaban, bukan sekadar perebutan kuasa.
Menariknya, Dasco berdiri di persimpangan dua dunia yang jarang bisa bersatu: politik dan pendidikan. Di satu sisi, ia Wakil Ketua DPR RI, figur yang akrab dengan kalkulasi kekuasaan; di sisi lain, ia Guru Besar Hukum dan Rektor yang hidup dalam atmosfer akademik. Dua dunia yang biasanya berjalan sendiri-sendiri, kini bersentuhan di dirinya. Dan dari titik sentuh itulah, muncul kemungkinan baru: lahirnya politik pengetahuan—yakni politik yang berakar pada ilmu, bukan pada intrik.
Sebab kita tahu, politik tanpa pengetahuan hanya melahirkan retorika kosong; sementara pengetahuan tanpa kepekaan politik mudah terperangkap di menara gading. Diperlukan jembatan di antara keduanya, seseorang yang mengerti bahwa ide besar butuh kekuasaan untuk bekerja, dan kekuasaan butuh nalar agar tetap manusiawi. Dalam peran itulah Dasco tampak menempatkan dirinya: menjadikan kampus bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi medan untuk memperjuangkan gagasan tentang Indonesia yang lebih cerdas dan adil.
Namun sebutan “guru publik” bukanlah hadiah yang diberikan begitu saja. Gelar itu harus diperjuangkan dan dibuktikan, bukan diklaim. Ia menuntut konsistensi antara gagasan dan tindakan, keberanian melawan arus, dan kesetiaan pada nilai-nilai kejujuran intelektual. Dalam hal ini, perjalanan Dasco baru saja dimulai. Ia punya panggung besar, punya akses politik dan akademik; tapi ujian sejatinya adalah bagaimana semua itu digunakan untuk menumbuhkan kesadaran publik dan memperluas cakrawala berpikir generasi muda.
Kita bisa melihat bibitnya dari cara UKRI dijalankan: pendidikan tidak lagi dilihat sebagai komoditas, melainkan alat penyadaran. Mahasiswa didorong untuk berpikir tentang bangsa, bukan sekadar mencari pekerjaan. Kampus menjadi ruang di mana integritas dipraktikkan, bukan sekadar diajarkan. Dari sanalah nilai seorang guru publik tumbuh—dari keteladanan kecil yang berulang, bukan dari orasi di panggung besar.
Sejarah bangsa ini penuh dengan sosok semacam itu. Tan Malaka menulis Madilog di tengah pelarian, Gus Dur mengajarkan demokrasi melalui humor dan welas asih, Ki Hajar Dewantara menyalakan obor kemerdekaan lewat pendidikan rakyat. Mereka semua menjadikan pengetahuan sebagai alat pembebasan. Garis warisan itu kini menunggu penerusnya di setiap zaman. Dan mungkin, pada masa ini, estafet itu perlahan diteruskan oleh mereka yang mengajar melalui tindakan—bukan hanya ucapan.
Dasco berpotensi menjadi bagian dari mata rantai itu. Ia hadir di momen ketika bangsa ini haus akan keseimbangan antara politik yang beradab dan pengetahuan yang membumi. Bila ia terus menjadikan pendidikan sebagai poros perjuangannya, maka ia akan melampaui sekat jabatan dan partai. Ia akan berdiri di wilayah yang lebih dalam: wilayah tempat pengetahuan menjadi bentuk cinta kepada bangsa.
Sebab yang dibutuhkan Indonesia hari ini bukan hanya politisi yang pandai berdebat, melainkan pemimpin yang mau belajar. Bukan pejabat yang memerintah dari atas, tapi pendidik yang menuntun dari tengah. Politik pengetahuan, dalam pengertian ini, adalah politik yang berakar pada kesadaran—kesadaran bahwa bangsa tidak bisa dibangun dengan ambisi, tapi dengan akal budi.
Mungkin kelak, ketika generasi muda UKRI berdiri di panggungnya sendiri, mereka akan mengenang Dasco bukan sebagai rektor atau pejabat, tapi sebagai seseorang yang menyalakan semangat berpikir kritis di tengah zaman yang ramai namun sering hampa makna. Dari situ, lahirlah seorang guru publik—tanpa upacara, tanpa pengakuan, hanya lewat ketulusan untuk terus belajar bersama bangsanya.
















