Rilpolitik.com, Jakarta – Sejarawan JJ Rizal secara blak-blakan mengatakan Gibran Rakabuming Raka tak pantas disejajarkan dengan Sutan Sjahrir.
Pernyataan ini Rizal sampaikan merespon banyaknya narasi yang mensejajarkan putra sulung Presiden Joko Widodo itu dengan Sutan Sjahrir usai dicalonkan sebagai Cawapres Prabowo Subianto.
Menurut Rizal, mensejajarkan dua orang seperti halnya Gibran dengan Sjahrir dalam konteks ilmu sejarah disebut sebagai paralelisme. Paralelisme sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar.
“Tapi harus diingat, walaupun paralelisme adalah hal yang wajar, tapi tidak wajar kalau mensejajarkan sesuatu yang tidak sejajar, sesuatu yang tidak setara,” kata Rizal dikutip dari postingan akun Tiktok @komunitasbambu_ pada Minggu (29/10/2023).
Sebab, kata Rizal, menyetarakan dua orang yang berbeda secara ketokohan dan track record perjuangan dan pengorbanan, apalagi menyangkut tokoh bangsa yang besar dalam sejarah justru bisa menjadi bagian dari manipulasi sejarah, bukan paralelisme.
“Menyetarakan dua orang dari dua dunia yang berbeda, dari masa yang berbeda dan menyangkut salah satu tokohnya adalah tokoh bangsa yang besar dalam sejarah itu bisa saja kita sebut bukan paralelisme, tapi bagian dari manipulasi sejarah,” ujarnya.
“Bahkan, bagian dari character assassination terhadap si tokoh sejarah,” imbunya.
Selain itu, Rizal menyampaikan, mensejajarkan sesuatu yang tidak setara merupakan bagian dari pengkaburan terhadap sejarah.
“Yang lebih penting lagi sebenarnya itu tidak mendidik karena tidak menjernihkan sejarah. Padahal, untuk hidup ke depan kita perlu sejarah yang jernih, bukan yang keruh,” tegas Rizal.
Rizal membeberkan sejumlah alasan kenapa Gibran tak pantas disejajarkan dengan Sutan Sjahrir. Pertama, Sjahrir pernah memimpin organisasi mahasiswa yang sangat radikal yakni Perhimpunan Indonesia di Belanda. Organisasi itu menuntut kemerdekaan Indonesia dari Belanda. “Apakah Gibran pernah memimpin organisasi mahasiswa radikal? Saya ngga pernah dengar,” ujar Rizal.
Kedua, Sjahrir juga pernah dibuang di sebuah kamp konsentrasi di Boven Digoel ketika pulang dari Belanda ke Tanah Air.
“Pertanyaan saya adalah apakah pernah Gibran itu merasakan dihukum buang di satu kamp di tempat terpencil yang alamnya sangat kejam? Saya belum pernah dengar,” kata dia.
Ketiga, Sjahrir merupakan sosok yang besar di luar sistem kekuasaan. Ia selalu menolak dan menentang kekuasaan Belanda dan Jepang meskipun banyak teman-temannya yang memilih bekerjasama dengan Jepang.
“Pertanyaan saya adalah Sjahrir besar di luar sistem kekuasaan dan menentangnya, apa Gibran pernah bekerja di luar kekuasaan, menentang kekuasaan? Saya nggak pernah denger,” ujarnya.
Keempat, lanjut Rizal, Sjahrir membangun jaringan intelektual muda yang menjadi dasar Partai Sosialis Indonesia. Sementara Gibran, katanya, nulis sepotong tulisan saja yang berisi pemikirannya tidak pernah.
“Kelima, Sjahrir itu menolak kuasa fasis militeristik. Ia menolak tetap dipeliharanya warisan kependudukan Jepang seperti ketentaraan PETA dan model Partai Negara atau state party. Lah, gimana Gibran itu malah berduet dengan kuasa militer, orang dari masa Orde Baru yang jelas-jelas jaringan dari kekuasaan militeristik? Dan dia justru diintroduksi, diperkenalkan dicalonkan jadi capres oleh partai negara dari masa orba yang namanya Golkar, itu gimana?” tanya Rizal.
Keenam, kata Rizal, Sjahrir bersama Hatta bahu-membahu mengubah politik negara yang mengancam demokrasi dengan melansir sistem parlementer.
“Nah, Gibran malahan naik melalui sistem yang memperlihatkan sesuatu yang bertolak belakang dengan sistem demokrasi, bertentangan dengan asas demokrasi melalui sistem kekeluargaan, sistem nepotisme. Itu yang kelihatan nyata,” ujarnya.
Terakhir, Sjahrir pada usia muda tampil sebagai wakil Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa membela bangsa Indonesia yang baru merdeka dengan cara-cara cerdas dan luar biasa yang membuatnya dikagumi sebagai orang yang kecil badannya, tetapi besar pemikirannya.
“Pertanyaan saya, apa Gibran pernah menunjukkan pemikiran yang sangat besar di balik badannya yang kecil seperti Sjahrir dan pernah berpidato di podium besar seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa membela Indonesia?” tanyanya.
(Abn/rilpolitik)