NasionalPolitik

Dilema Sikap Politik PDI Perjuangan

6044
×

Dilema Sikap Politik PDI Perjuangan

Sebarkan artikel ini
Direktur Eksekutif Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan), Subairi Muzakki.

Rilpolitik.com – PDI Perjuangan menghadapi dilema dalam menentukan sikap politiknya terhadap pemerintahan Prabowo – Gibran. Dilema itu terlihat dari inkonsistensi rekomendasi Rakernas V dengan pidato penutupan Megawati Soekarnoputri.

Di dalam rekomendasi eskternal yang berjumlah 17 poin itu, PDI Perjuangan menunjukkan rasa amarah yang luar biasa, tidak hanya pada penyelenggaraan Pemilu 2024 yang disebutnya sebagai Pemilu terburuk sepanjang masa, tetapi juga terhadap sejumlah isu dan kebijakan yang didorong oleh pemerintah dan parpol koalisi Prabowo – Gibran, seperti Rervisi UU MK, Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan RUU Penyiaran.

Tidak hanya itu, pada poin ke-2 rekomendasi tersebut mendorong fungsi kontrol dan penyeimbang (chack and balances) ditingkatkan serta mendesak perlakuan setara dan adil antara partai politik yang berada di dalam pemerintahan dan yang berada di luar pemerintahan.

Namun, amarah dan sikap oposisional rekomendasi eksternal itu terasa berbeda dengan pernyataan Megawati yang mengaku masih akan melakukan kalkulasi politik sebelum menentukan sikap partai. Megawati sadar bahwa sikap partainya ditunggu banyak pihak, tetapi sambil bercanda dia mengatakan, “enak saja, iya dong. Gue mainin dulu dong.”

Terjadi inkonsistensi antara amarah dan sikap oposisional rekomendasi eksternal yang merupakan hasil Rakernas V dengan pidato Megawati yang tidak mau memutuskan sikap politik partainya saat ini. Ia mengaku tidak akan terbaru-buru menentukan sikap partai dan masih akan melakukan kalkulasi politik.

ANTARA IDEALISME DAN REALITAS POLITIK KARTEL

Jika konsisten, amarah yang mewarnai rekomendasi eksternal Rakernas V seharusnya ditutup dengan penegasan bahwa PDI Perjuangan siap berada di luar pemerintahan dan akan menjalankan fungsi oposisi untuk menguatkan chack and balances. Kenapa ini tidak dilakukan? karena PDI Perjuangan menghadapi dua dilema besar.

Pertama, PDI Perjuangan berada dalam dilema antara memperjuangkan ideologi dan idealisme partai atau berkompromi dengan realitas politik kartel. Di antara partai politik yang ada, PDI Perjuangan adalah partai dengan citra ideologi dan idealisme yang paling kuat.

Ideologi PDI Perjuangan adalah marhaenisme, suatu pandangan ideologi yang diwariskan dari Bung Karno. Ia adalah upaya radikal Bung Karno untuk mendorong pembebasan manusia dan mengangkat harkat dan martabat wong cilik.

Dengan ideologi itu, PDI Perjuangan mencitrakan diri sebagai partainya wong cilik. Dan dengan ideologi itu juga, PDI Perjuangan sangat identik dengan citra Bung Karno. Bahkan, PDI Perjuangan seringkali disebut sebagai penerus perjuangan PNI, partai yang didirikan oleh Bung Karno.

Dari sisi idealisme, PDI Perjuangan punya citra paling kuat sebagai partai pejuang demokrasi dan reformasi. Citra ini melekat dalam diri PDI Perjuangan karena ia adalah partai oposisi pada rezim Orde Baru, dan yang paling kuat mendorong reformasi.

PDI Perjuangan juga lekat dengan reformasi karena lembaga-lembaga penting demokrasi lahir pada masa pemerintahan Megawati, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Betul seperti disampaikan Megawati, “MK itu saya yang mendirikan loh, coba bayangkan kok barang yang saya bikin itu digunakan tapi tidak dengan makin baik.”

Jika PDI Perjuangan konsisten dengan ideologi dan idealisme tersebut, maka seharusnya ia tidak ragu menentukan sikap sebagai oposisi. Sebab selain tidak merepresantikan ideologi wong cilik, Prabowo-Gibran juga tidak merepresenasikan semangat reformasi dan penguatan demokrasi. Bahkan ada kecenderungan, kekuatan koalisi Prabowo-Gibran sedang berupaya mengamputasi pilar-pilar demokrasi dengan sejumlah agenda revisi Undang-Undang, mulai dari revisi UU MK, RUU Penyiaran, UU TNI, hingga UU Polri.

Tetapi di sisi lain, PDI Perjuangan menyadari bahwa realitas politik saat ini tidak kondusif untuk berdiri tegak dengan ideologi dan idealisme.  Seperti dijelaskan Kuskrido Ambadi dalam buku Mengungkap Politik Kartel (2009), bahwa kepentingan partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel.

Politik kartel membuat partai politik tidak berdaya jika tidak merapat ke rezim kekuasaan. Sebab kelangsungan hidup mereka ditentukan oleh sumber keuangan yang berasal dari pemerintah. Pada titik ini, sumber keuangan partai yang dimaksud ialah uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente (rent-seeking).

Dengan demikian, pilihan antara menjadi oposisi atau masuk ke dalam pemerintahan adalah pilihan sangat sulit karena menyangkut daya hidup partai. Apakah PDI Perjuangan akan memilih ideologi dan idealisme tetapi sengsara selama lima tahun ke depan atau berkompromi dengan realitas politik kartel tetapi mengorbankan ideologi dan idealisme? Dilema ini sulit dijawab dan karena itu, Rakernas V tidak mampu membuat sikap tegas.

ANTARA LUKA DAN KUASA

Dilema kedua adalah apakah PDI Perjuangan akan meluapkan kemarahannya akibat luka “pengkhianatan” Joko Widodo dengan tindakan politik yang tegas atau sekadar dengan retorika dan narasi. Kemarahan PDI Perjuangan kepada Jokowi sangat terasa dalam retorika dan narasi Rakernas V. Kemarahan itu juga terpotret dalam 17 rekomendasi Rakernas V. Sampai-sampai Puan Maharani yang membacakan rekomendasi Rakernas V menangis dan minta maaf kepada rakyat karena kadernya melanggar etika dan konstitusi.

Tetapi kemarahan tersebut tidak mewujud dalam tindakan politik yang tegas. Menteri-menteri dari PDI Perjuangan tetap bekerja sebagai pembantu Jokowi. Pun di DPR RI, fraksi PDI Perjuangan tidak secara tegas melawan kebijakan-kebijakan atau langkah-langkah politik Jokowi.

Kenapa PDI Perjuangan tidak menyalurkan kemarahannya dalam tindakan politik yang tegas? Alasannya adalah karena kekuasaan punya magnetnya sendiri. Inilah dilema PDI Perjuangan, satu sisi ia sangat marah, tetapi di sisi lain ia tidak mau kehilangan kue kekuasaan yang kini dinikmatinya.

Jika konsisten dengan kemarahannya, PDI Perjuangan seharusnya menarik semua kadernya dari kursi menteri, dan secara tegas memulai langkah oposisi sejak saat ini. Sebab sangat tidak pantas membiarkan kader-kader terbaik partai tetap menjadi pembantu seorang Presiden yang telah melanggar etika dan konstitusi.

Tetapi ini pilihan sulit. PDI Perjuangan memang punya sejarah panjang sebagai oposisi, tetapi partai ini juga telah menikmati kekuasaan selama 10 tahun terakhir. Kenikmatan kekuasaan yang dirasakan selama 10 tahun tentu sangat mempengaruhi pertimbangan politik dalam menentukan sikap terhadap pemerintah, baik terhadap pemerintahan Jokowi saat ini, maupun terhadap pemerintahan penerusnya, Prabowo – Gibran.

Apalagi, Prabowo dengan nyata menunjukkan keinginannya mengajak PDI Perjuangan untuk kembali menikmati kekuasaan dengan bergabung dalam koalisinya. Apakah PDI Perjuangan akan merawat luka dengan menjadi oposisi atau menerima ajakan Prabowo untuk kembali menikmati lezatnya kekuasaan? Ini adalah dilema besar yang belum mampu dijawab, dan membuat PDI Perjuangan mengulur waktu dalam menentukan sikap.

DI ANTARA DUA DILEMA

Tidak mudah memilih antara berkompromi dengan realitas politik kartel atau tegak dalam ideologi dan idealisme. Juga tidak mudah memilih antara menuntaskan luka atau menikmati kuasa. Pilihan di antara dua dilema ini mempertaruhkan nasib partai lima tahun ke depan. Apalagi, di depan mata ada kontestasi Pilkada yang tentu saja akan terdampak oleh pilihan PDI Perjuangan terhadap dua dilema itu.

Maka, pilihan Megawati menunda keputusan terkait sikap partai adalah upaya strategis untuk menghindari dampak buruk yang bisa terjadi jika pilihan terhadap dua dilema itu ditentukan saat ini.

Sembari melakukan kalkulasi politik, Megawati nampak masih ingin menikmati posisi abu-abu, dimana ia bisa bermain di dua kaki. Satu sisi mengumbar narasi dan retorika oposisional, tapi di sisi lain ia tetap menjadi bagian dari rezim kekuasaan. Satu sisi mengumbar luka, tetapi di sisi lain membiarkan diri menjadi pembantu presiden, yang telah melukainya.

Namun, posisi abu-abu tidak akan mampu bertahan lama. Dan pada akhirnya, ia harus memilih dan menentukan sikap tegas. Apakah akan berada di dalam atau berada di luar pemerintahan. Menjadi bagian dari kekuasaan atau menjadi oposisi.

Singkatnya, PDI Perjuangan pada akhirnya harus memilih di antara dua dilema itu. Berdiri tegak dengan ideologi dan idealisme atau berkompromi dengan realitas kartel? Menuntaskan luka atau menguburnya demi kuasa?

Tentu hanya Megawati yang tahu jawaban dari pertanyaan ini. Namun, jika ia benar-benar peduli pada nasib demokrasi seperti yang selama ini ia nyatakan, maka pilihannya sudah jelas: menjadi oposisi, apapun risikonya. Sebab yang dipertaruhkan bukan hanya nasib partai, tetapi juga nasib republik bernama Indonesia.

Penulis: Subairi Muzakki
Direktur Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *