Rilpolitik.com, Jakarta – Pemilu seringkali menjadi momen bangkitnya kembali kelompok radikalisme dan ektremisme yang dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan pilihan politik yang menyebabkan ketegangan sosial sehingga dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Mantan narapidana terorisme (Napiter) Ali Fauzi Manzi mengakui adanya ancaman ekstremisme dan radikalisme pada Pemilu 2024. Terbukti dengan adanya penangkapan 59 terduga teroris di Jakarta, Bekasi, dan Poso oleh Densus 88 selama Oktober 2023.
Ali Fauzi mengungkapkan, 59 terduga teroris itu diketahui terafiliasi dengan kelompok Abdullah Umar, eks narapidana terorisme (napiter) yang baru setahun bebas dari Nusakambangan. Mereka, kata dia, berencana untuk mengganggu jalannya Pemilu 2024.
“Saya pribadi percaya (mereka akan kacaukan Pemilu 2024) karena mereka kelompok takfiri, kelompk ada pada JAD, Jamaah Ansorut Daulah, yang anti demokrasi,” kata Ali Fauzi pada Sabtu (25/11/2023).
Menurut Ali Fauzi, ancaman radikalisme selalu ada meskipun banyak dari mereka yang sudah ditangkap oleh Densus 88.
“(Memang) banyak dari mereka yang sudah diringkus oleh Densus 88. Tapi kan anggota yang masih bebas tidak sedikit dan ada ratusan anggota mereka yang direkrut oleh group-group (radikal) ini,” ungkapnya.
Mantan kombatan Bom Bali 1 itu berharap Pemilu 2024 dapat berjalan secara aman dan damai sehingga masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya sesuai dengan hati nuraninya.
“Yang pro dengan Ganjar-Pak Mahfud monggo, yang pro dengan Prabowo-Gibran monggo, yang pro dengan AMIN (Anies-Cak Imin) monggo. Terpenting semuanya harus legowo karena tidak mungkin semuanya menang. Tentu ada yang kalah, ada yang menang,” imbau dia.
Ali Fauzi berpendapat perlu adanya penguatan program moderasi beragama yang melibatkan banyak elemen masyarakat untuk meminimalisir ancaman kekerasan berbasis agama pada Pemilu 2024.
“Bukan hanya polisi, BNPT, Densus 88, tetapi para alim ulama, NU, Muhammadiyah juga perlu dilibatkan dalam program moderasi beragama,” tuturnya.
“Nah, sampai saat ini juga bukti, fakta di lapangan masih banyak mereka yang berpaham terorisme, membolehkan aksi-aksi kekerasan, bom, penembakan polisi-TNI dan aksi-aksi yang lainnya,” imbuh dia.
Hubungan Islam dan Keindonesiaan
Ali Fauzi mengatakan Indonesia lahir, tumbuh, dan berkembang hasil dari olah fisik, olah akal, dan olah ijtihad dari para alim ulama baik dari Muhammadiyah maupun NU. Ulama, jelasnya, berperan cukup besar dalam melahirkan Pancasila. Sebab, Pancasila itu diambil dari nilai-nilai Islam.
Hal itu tentu berbeda dengan pandangan kelompok radikal yang menganggap seolah-olah Islam dan Pancasila itu berlawanan.
“Nah, itu sebetulnya tantangan bagi kita masyarakat itu untuk memahamkan pada group-group (radikal) ini. Group ini tentu yang diusung adalah berbasis ideologi, ideologi yang mereka pahami. Paham yang salah itu yang sebetulnya harus kita bantu, harus kita rangkul, bukan dipukul,” ujarnya.
Sebab itu, lanjutnya, penting untuk memaksimalkan program moderasi beragama untuk meminimalisir berkembangnya ideologi radikal yang menganggap Islam dan Pancasila bertentangan.
“Sekarang ada program moderasi beragama. Itu lebih menitikberatkan pada soft approach. Perekrutan berbasis rekrutmen, berbasis lembut lah, bukan mengandalkan hard power, tapi soft power gitu,” katanya.